Skip to main content

Self-love aja nggak cukup!

Belakangan ini lagi mikir sebuah ide tentang self-love. Katanya, lo harus mencintai diri lo sendiri sebelum lo mencintai orang lain. Sebenernya kalimat itu benar, tapi nggak sempurna.

Kalau misalnya bener bahwa semua orang harus cinta dirinya sebelum cinta sama orang. Lantas kenapa masih sedikit sekali orang yang penuh cinta kasih, lembut, bersahaja, dan sangat menyenangkan? Misalnya aja masih kurang banyak kita temui warga sini dengan budaya tidak menyebar hoaks, mau gotong royong dalam mendidik masyarakat, bersih dari politik kotor, dan lainnya. Apa emang karena kita mencintai diri sendiri dulu, makanya kita jadi sulit mencintai orang lain dan mungkin sedikit banyak memicu endemi narsistik? Rasa paling bener, rasa paling “aku lah pusat dunia ini”, rasa paling “ya yang penting mah bukan aku”…

Membicarakan konsep ini tuh sulit loh karena di satu sisi akan ada rasa marah. Aku nggak bermaksud menyalahkan atau mencari kambing hitam, tapi aku pengen kita memahami diri kita lebih jelas tentang konsep self-love dan implikasinya ini.

Diskusinya kita mulai dari kata self-love itu sendiri.

Entah kenapa kepikiran kalau self-love itu….arti “self”-nya kan “diri” ya? Nah ini bentrok dengan core dari cinta! Bahwa love is actually selflessness. Semua kebaikan dan kebajikan, sama sekali ga menyangkut atau ngomongin “diri”

Makanya, kata yang berbau self itu, partly and sadly will be egoistic. Name it. Self-dicipline, self-care, self-compassion, and the list goes on.

Setauku, kalau mau ngomongin cinta, kita bisa jadikan cinta ibu sebagai benchmark. Sepanjang aku mencoba memahami, sifat cinta itu dijamin tanpa pamrih, tanpa prasangka dan penuh pengorbanan. Terus kenapa ya, kok sekarang kayanya konsep ‘tidak mementingkan diri sendiri’ ini seolah bagian terpisah (atau bahkan terlupakan) dari konsep self-love?

Kadang suka mikir juga, ujaran self-love ini udah bawa kita kemana sih?

Harusnya di satu sisi, kita juga belajar where is the boundaries when we can call things being self-love or just purely egoistic?

Di satu sisi, sebenernya yang butuh baca hal ini, bukan kamu, tapi orang yang kelewat… kelewat self-love sampe mereka ga bisa liat keputusasaan mampir tiap minggu, ga bisa paham sama kemiskinan masal yang lagi menggila, ga sadar sama kesepian dan perlahan hilangnya harapan, yang tersisa mungkin dendam, mungkin pasrah, mungkin benci yang ekstrim, mungkin kelak senjata dan ekstrimis. Iya, tulisan ini, bukan untuk kamu, ini untuk orang yang membuat kita hancur karena selalu mementingkan kepentingan pribadi.

Kuncinya satu, selflessness harus terefleksi dalam self-love. Satu yang aku sadarin, bahwa nggak egois itu bukan berarti kita sama sekali melupakan diri kita, tapi justru kehadiran kita ada dan membawa kebaikan.

(dang, age gracefully kieu urang)

Jadi hari ini pengen ngasih sepercik cahaya, bahwasanya self-love itu, self-nya bukan ourself only (I, me and myself only), tapi self-nya adalah all of the self.. 

Sampai nanti kita bisa melihat perbedaan ini, baru kita akan paham....bahwa di antara upaya mencintai diri sendiri juga ada kebutuhan untuk mencintai semua diri dan semua kehidupan.

Masuk akal sekaligus rada abstrak. Paham nggak sih? Hahahah, lieur! Tapi ya itu, self-love aja nggak cukup!



Comments

Popular posts from this blog

Cara Perempuan Jepang Membuang Bekas Pembalut

Selama hidup di Jepang, hal yang paling berkesan untukku adalah tiada hari berlalu tanpa pembelajaran. Bahkan ketika aku di rumah aja ngga ngapa-ngapain, aku tetap dapet pembelajaran baru. Jadi suatu pagi… aku lagi di apartemen aja kan biasa pengangguran laten [ gaya abiesz, bilang aja kosan Pak Ruslan versi fancy wkwk ], dan temen sekosanku yang orang jepang, dia nyimpen bungkus pembalut di kamar mandi. Hmm oiya kita tuh kamar mandinya shared, cuma beda kamar bobo aja. Jadi dia narohnya di salah satu papan yang ada di atas WC duduk gitu, biasanya di papan tersebut kita simpen tissue cadangan atau pengharum ruangan di situ. Oke dia lagi menstruasi. Tapi ini untuk pertama kalinya aku nemuin sampah yang digeletakin gitu aja. Nah, buat kalian yang ngga tau pembungkus pembalut yang mana, ini aku sertakan gambar… karena kebetulan aku lagi rajin dan lagi mens juga. Jadi ini pembalut… Dan ini bungkusnyaaa… yang mana tergeletak di WC tadi. Aku langsung bingung, ih tumben banget kok ngga ...

Kentut

Saya pernah nonton variety show-nya Negri Gingseng, Hello Counselor . Acaranya membahas problematika, kesulitan, dan penderitaan seseorang. Kind of curhat, but the problem usually soooo silly and weird, you can’t even imagine. Disitu ada host sama penonton. Host berfungsi juga sebagai panelis tanya jawab tentang permasalahan tersebut. Tanya jawabnya dua arah, dari sisi yang punya masalah dan yang jadi biang masalah. Hingga pada satu titik mereka coba memberi solusi. Terus penonton ngejudge itu masalah bukan untuk kemudian voting. Nah yang paling banyak dapet vote , nanti dapet hadiah. Ada satu episode yang menarik yang melibatkan hal paling manusiawi : kentut.

Ada Apa dengan Mas-Mas Jawa?

Kalau kamu adalah seorang perempuan, apa yang terlintas di benak ketika mendengar kata ‘Mas-Mas Jawa’? Apakah seksi, idaman, gagah, karismatik terlintas meski hanya sekilas? Tak dipungkiri lagi mas-mas jawa adalah komoditas utama dalam pencarian jodoh. Cewe-cewe entah kenapa ada aja yang bilang, “pengen deh dapet orang jawa.” Alasannya macem-macem mulai dari yang sekedar impian masa kecil, pengen aja, sampe dapet wangsit dari mbah Jambrong. Saya ngga ngelak, pria jawa memang identi dengan kualitas terbaik. Mungkin Abang, Aa, Uda, Bli, Daeng, atau Bung juga suka merasa daya saing di pasar rendah, apakah dikarenakan passing grade Si Mas-Mas tinggi? Atau karena ada quality control sebelum masuk pasar? Hmm. Mari disimak beberapa hal yang membuat mas jawa menjadi undeniable (ngga bisa ditolak) 1. Killer smile Mungkin tatapannya orang Jerman atau seringainya kumpeni itu bisa membunuh. Tapi untuk seorang mas-mas jawa, yang membunuh itu senyum. Bikin klepek-klepek. Takar...

Entry 5 - Gratitude Journal: Wished

What is something that you have now that seemed like a wish back then? The first thing that comes to my mind is the freedom to do anything.  Hal yang tampak seperti mimpi dulunya adalah melakukan hal-hal yang hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa. Beberapa di antaranya merupakan adegan berbahaya yang hanya bisa dilakukan oleh ahli. Hal seperti bepergian sendiri kemanapun, membeli barang-barang lucu yang diinginkan, bahkan berpikir hanya untuk diri sendiri. Aku tidak tahu kenapa kota tempatku tinggal,  Karawang disebut Kota Pangkal Perjuangan, tapi aku cukup tahu semua orang di sini memang bergelar pejuang. Menjadi dewasa artinya bergerak menjadi seorang yang berjuang. Dulu semuanya diperjuangkan oleh orang lain tanpa kita maknai. Sekarang aku tahu betapa lelahnya itu, tapi tidak ada seorang pun bertanya, karena semua orang ingin beristirahat juga. Aku suka menjadi dewasa karena hal-hal yang tidak terlihat ketika aku kecil, sekarang semuanya nyata. Sayangnya, kita semua mend...