Belakangan ini lagi mikir sebuah ide tentang self-love.
Katanya, lo harus mencintai diri lo sendiri sebelum lo mencintai orang lain.
Sebenernya kalimat itu benar, tapi nggak sempurna.
Kalau misalnya bener bahwa semua orang harus cinta dirinya
sebelum cinta sama orang. Lantas kenapa masih sedikit sekali orang yang penuh
cinta kasih, lembut, bersahaja, dan sangat menyenangkan? Misalnya aja masih kurang
banyak kita temui warga sini dengan budaya tidak menyebar hoaks, mau gotong
royong dalam mendidik masyarakat, bersih dari politik kotor, dan lainnya. Apa emang
karena kita mencintai diri sendiri dulu, makanya kita jadi sulit mencintai
orang lain dan mungkin sedikit banyak memicu endemi narsistik? Rasa paling
bener, rasa paling “aku lah pusat dunia ini”, rasa paling “ya yang penting mah
bukan aku”…
Membicarakan konsep ini tuh sulit loh karena di satu sisi akan ada rasa
marah. Aku nggak bermaksud menyalahkan atau mencari kambing hitam, tapi aku
pengen kita memahami diri kita lebih jelas tentang konsep self-love dan
implikasinya ini.
Diskusinya kita mulai dari kata self-love itu sendiri.
Entah kenapa kepikiran kalau self-love itu….arti “self”-nya
kan “diri” ya? Nah ini bentrok dengan core dari cinta! Bahwa love is actually
selflessness. Semua kebaikan dan kebajikan, sama sekali ga menyangkut atau
ngomongin “diri”
Makanya, kata yang berbau self itu, partly and sadly will be
egoistic. Name it. Self-dicipline, self-care, self-compassion, and the list goes
on.
Setauku, kalau mau ngomongin cinta, kita bisa jadikan cinta
ibu sebagai benchmark. Sepanjang aku mencoba memahami, sifat cinta itu dijamin
tanpa pamrih, tanpa prasangka dan penuh pengorbanan. Terus kenapa ya, kok
sekarang kayanya konsep ‘tidak mementingkan diri sendiri’ ini seolah bagian
terpisah (atau bahkan terlupakan) dari konsep self-love?
Kadang suka mikir juga, ujaran self-love ini udah bawa kita
kemana sih?
Harusnya di satu sisi, kita juga belajar where is the
boundaries when we can call things being self-love or just purely egoistic?
Di satu sisi, sebenernya yang butuh baca hal ini, bukan
kamu, tapi orang yang kelewat… kelewat self-love sampe mereka ga bisa liat keputusasaan
mampir tiap minggu, ga bisa paham sama kemiskinan masal yang lagi menggila, ga
sadar sama kesepian dan perlahan hilangnya harapan, yang tersisa mungkin
dendam, mungkin pasrah, mungkin benci yang ekstrim, mungkin kelak senjata dan
ekstrimis. Iya, tulisan ini, bukan untuk kamu, ini untuk orang yang membuat kita
hancur karena selalu mementingkan kepentingan pribadi.
Kuncinya satu, selflessness harus terefleksi dalam self-love.
Satu yang aku sadarin, bahwa nggak egois itu bukan berarti kita sama sekali melupakan
diri kita, tapi justru kehadiran kita ada dan membawa kebaikan.
(dang, age gracefully kieu urang)
Jadi hari ini pengen ngasih sepercik cahaya, bahwasanya self-love itu, self-nya bukan ourself only (I, me and myself only), tapi self-nya adalah all of the self..
Sampai nanti kita bisa melihat perbedaan ini, baru kita akan paham....bahwa di
antara upaya mencintai diri sendiri juga ada kebutuhan untuk mencintai semua diri
dan semua kehidupan.
Masuk akal sekaligus rada abstrak. Paham nggak sih? Hahahah, lieur! Tapi ya itu, self-love aja nggak cukup!
Comments
Post a Comment