Selasa pagi ini, seorang wanita
mendadak duduk di hadapanku sembari menangis. Matanya sembab dan isaknya
terdengar naik turun. Aku kebingungan mau menatap kemana, tapi aku memastikan
lirikan mataku tidak membuatnya curiga ataupun malu. Masker yang aku gunakan
menutupi wajahku sangat membantuku menyembunyikan rasa kikuk yang terus
tersingkap. Perlahan, aku ingat, aku baru saja membeli tissue dalam packaging
kecil kemarin, untuk keringatku. Cuaca akhir-akhir ini panas, kupikir, harus
punya lap keringat. Tapi ternyata pertama kali kubuka tissue itu untuk
kuberikan pada wanita di hadapanku menyeka air matanya yang berurai. Kubuka
kemasannya. Kusodorkan tissue baru itu.
“Mbak..”
Dia mengambilnya
dengan tatapan bingung. Aku pun sama. Bingung kenapa dia menangis.
Tiba-tiba cekatan
tangannya menggapai jendela, seperti mengucapkan salam perpisahan pada
seseorang. Ku arahkan sudut mataku mencari apa yang dilihatnya. Ternyata
seorang anak kecil dan seorang perempuan yang usianya lebih muda dari wanita di
hadapanku. Oke, masalah sudah jelas. Dia meninggalkan (mungkin menitipkan) anaknya, dengan seorang perempuan yang mungkin anggota keluarganya.
Kereta ini menuju
Cikarang. Tempat berkumpulnya penopang hidup ratusan jiwa mencari segenggam
beras.
Hatiku merana melihat
mereka, aku tidak suka perpisahan.
Tangisnya yang tipis
sungguh memilukan. Mengapa kita semua selalu ditakdirkan untuk meninggalkan
apa-apa yang begitu kita cintai?
Untuk mengatasi
kebingunganku dalam bersikap, aku sibuk memainkan ponsel dan menjawab pesan
yang masuk. Ini pertama kalinya aku melihat perempuan menangis di kereta dengan
jelas. Aku juga pernah menangis di kereta, tapi saat perjalanan malam, dan aku
lupa alasannya apa. Yang jelas sedih.
Keretanya belum
berangkat juga. Anak kecil yang dia dadah-dadah-i sejak tadi mendadak muncul di
atas gerbong. Perempuan muda yang bersamanya bilang “tadi katanya mau ngomong
sesuatu, ayo adek mau ngomong apa sama mamah”, ujarnya.
Anak kecil itu ingin
menangis, tapi aku tahu dia so’ kuat. Harus kuat.
Dengan tersendat anak
kecil itu bilang, “Ma..mah… kapan pulang?”
Hatiku tersayat.
Nelangsa. Mereka mencintai satu sama lain.
Wanita yang duduk di
hadapanku meski menggunakan masker, aku tahu pasti separuh wajahnya menahan
banjir yang bisa saja turun melalui air matanya. Dengan bergetar, dia menjawab,
“Nanti tungguin ya, nanti kita video call ya.”
Mengetik kejadian
ini, rasanya adegan tersebut hanya bisa terjadi di drama Korea. Tapi ini
sungguhan, aku mengalaminya. Percayalah.
Perempuan yang
bersama dengan anak itu sama kikuknya denganku memecah atmosfir gundah dengan
cepat berkata, “Ayo kita turun, keretanya udah mau berangkat.”
Aku makin sibuk
dengan ponselku, karena adegan terebut terasa sangat intim untuk aku
melayangkan mata pada mereka.
Kemudian perempuan di
hadapanku kembali pada posisinya yang menggapai jendela.
Tissue yang
kuberikan, bentuknya sudah tidak karuan. Dia terus larut dalam kesedihan.
Sepanjang perjalanan,
aku terdiam memerhatikan ke luar jendela dan sesekali mengecek ponselku.
Wanita itu juga sama,
mengecek ponselnya.
Stasiun tempatku
turun sudah dekat. Aku mengecek papan penanda nama stasiun.
Wanita itu bertanya,
“turun dimana?”
Aku menjawab, “di
Karawang, sebentar lagi.”
Aku berharap mataku
memancarkan sejuta harapan agar wanita di hadapanku ini dapat merasa lebih
baik, apapun itu permasalahannya.
Mata perempuan di
hadapanku menciut, menandakan lekuk senyum yang tak muncul karena tertutupi
masker.
“Makasih ya
tissue-nya”
Hatiku merasa lebih
baik mengetahui dia sudah seharusnya mendapatkan tissue itu.
Sudah sampai. Aku pun
pamit dan bilang, “duluan ya.”
Sore ini ketika
pulang, kereta sesak.
Aku yang masuk di
gerbong lima, harus berjalan ke depan mencapai gerbong dua mencari tempat yang
kosong. Aku lebih nyaman duduk dekat perempuan. Tapi semuanya telah terisi.
Akhirnya di gerbong
dua ada yang kosong. Yang duduk di hadapanku laki-laki muda, mungkin seusiaku.
Tidak terjadi
apa-apa. Tapi langit sore ini sangat bagus. Kombinasi awan cirrus dan
altocumulus. Kecil bulat-bulat disandingkan dengan bentuk abstrak lukisan
starry sky Van Gough.
Kereta sedikit
berisik karena ada keluarga yang berbincang santai. Begitulah Indonesia, selalu
berbincang kecil.
Di kereta, aku selalu
sibuk dengan ponselku. Tapi karena langitnya bagus, aku menahan diri tidak
membuka ponsel. Menikmati langit, dan menjadi tokoh utama dalam kehidupanku
sendiri. Menatap langit dan mengosongkan pikiran membuatku merasa bahwa hidup
ini sangat baik-baik saja. Tenang dan mendamaikan.
Sebagai seseorang
yang suka langit, aku ingin mengambil foto langit. Sayangnya, jendela kereta
penuh bekas goresan, sehingga kurasa pasti tidak menunjang shot yang bagus.
Kuurungkan kesukaanku.
Sambil memandang
langit, aku juga memeriksa sekitarku. Di sebelah kursiku duduk, tampak pemuda
bermain ponsel. Bulu kakinya sangat lebat. Dan mereka sempat mengupil yang
membuatku memicingkan mataku. Aku memalingkan muka, memikirkan akan dikemanakan
upil yang dia keduk. Menyadari bahwa sisa upil penumpang serupa mungkin aku
duduki, tubuhku sedikit bergidik.
Untuk menepis jijik,
aku nonton langit lagi. Entah siapa yang datang berjalan ke arah gerbong dua,
tapia da percikan air yang menetes dan singgah di celana jeans yang kukenakan.
Tiga tetesan bulat air. Langsung meresap dan hilang. Siapa orang yang membawa
tiga tetes air dan memindahkannya ke celanaku. Aku menatap tiga tetes air itu,
sedikit kesal. Aku tidak tahu itu sumber air itu darimana, yang jelas mataku
kembali memicing.
Aku tidak begitu
memperhatikan apa-apa lagi setelah itu, pikiranku kesana kemari.
Langit.
Aku kembali menatap
langit. Laki-laki di depanku, sama denganku, daritadi sesekali mengecek ponsel,
dan memperhatikan langit.
Nampaknya stasiunku
sudah dekat.
Laki-laki di
hadapanku tiba-tiba bertanya, “turun dimana?”
Aku merasa aneh
ditanya laki-laki. Tidak takut, hanya aneh.
Setauku laki-laki
tidak berkata begitu pada perempuan. Basa-basi begitu hanya terjadi pada satu
gender, atau jika kita sudah berumur.
Aku menjawab singkat,
“Cikampek.”
Aku tidak ingin
bertanya balik, karena tidak terlintas untuk menginisiasi percakapan panjang.
Aku menjawab sambil
menatap matanya. Aku tahu itu mata orang baik, tapi aku tetap tidak ingin
berkata apapun lebih lanjut.
Dia menimpali, “Oh,
sebentar lagi.”
Aku tidak menjawab
dan hanya tersenyum, yang aku tidak peduli apakah dia tahu aku tersenyum atau
tidak di balik maskerku. Tapi aku tahu mata tidak berbohong. Dia akan
merasakannya.
Aku menatap langit
lagi sekitar dua menit kemudian sampai di stasiun pemberhentianku.
Laki-laki di depanku,
“Sudah sampe.”
Aku pun menyapanya
dengan “duluan ya.”
Entah untuk alasan
apa, dia begitu ramah dengan menjawab, “iya hati-hati ya!”
Aku turun ke peron.
Hari ini ketika
mengetik ini, aku berpikir, ternyata kalimat “turun dimana?” adalah opening
percakapan di kereta ya. Bisa dikatakan hampir semua percakapan di kereta akan
melibatkan kalimat tersebut. Sungguh sebuah tujuan sedikit banyak membantu
kita, sekecil apapun itu.
“Turun dimana?”
Turuh di hatimu, boleh?
ReplyDeleteBOLEH DONG~~ awas tersesat! hahah
Delete