Hari ini mau ngomonging tentang kehilangan dan duka.
Ada satu hal yang aku pelajari tentang kehilangan dan duka,
lebih cepat dari siapapun. Seharusnya aku lahir menjadi anak kedua, tapi karena
kakakku meninggal ketika masih bayi, aku menjadi anak pertama. Duduk di sekolah
dasar, adik pertamaku saat itu meninggal. Cukup lama aku hidup sebagai anak
tunggal yang adik dan kakaknya meninggal.
Sebelum adikku meninggal, aku punya cita-cita menjadi dokter.
Tapi setelah adikku meninggal karena penyakit paru-paru, aku tidak ingin
menjadi dokter. Aku tidak mau menyakiti orang lain. Aku takut suatu saat aku
tidak bisa menyelamatkan nyawa pasien. Aku mengubah cita-citaku menjadi apapun
selain dokter.
Ketika aku kecil, aku sering dititipkan kepada teman ayahku
karena kadang ayah dan ibuku harus menghadiri suatu hal. Aku juga akrab dengan
pamanku, karena kepada beliau juga aku sering dititipkan, beliau juga meninggal
saat usianya masih muda.
Kehilangan dan duka yang aku alami, mengubah banyak perspektifku tentang hidup. Aku memahami bagaimana kesepian bekerja. Aku memahami arti ketiadaan. Dan aku tersadar bahwa dalam kehilangan
dan duka terdapat proses pendewasaan.
Jika dilihat ke belakang, kepribadianku seperti terurai
menjadi dua sumbu. Yang pertama yang lunak hatinya dan ingin melihat semua
orang bahagia karena orang-orang bisa sangat mudah pergi. Yang kedua, yang memasang
tembok tinggi, tidak mau semua orang mendekat karena takut akan orang-orang yang sangat
mudah meninggalkan kita. Mungkin saat itu belum menentukan sifat mana yang mau
dijadikan kepribadian, masih bingung, kaget dan sedikit ngeri. Tapi perasaan itu valid adanya.
Kehilangan dan duka melahirkan empati, keberanian,
kebijaksanaan, bahkan pendekatan pada kebenaran tentang hidup dan menyadari
bahwa hidup sepenuhnya adalah berkah dan rahmat.
Kalau sedang berduka, yang mungkin kita lakukan adalah
menangis, dan mungkin menyesal. “Seandainya waktu beliau hidup, aku bisa menghabiskan
lebih banyak waktu dengannya dan menunjukkan rasa sayangku lebih baik!” Kalimat seperti itu yang sering menjadi sebab hati kita hancur. Karena kita sudah tidak punya satu kesempatan pun
untuk melakukan itu semua.
Dalam kehilangan dan duka, kita belajar memahami ketidaksempurnaan.
Pertama, ketidaksempurnaan yang ada di diri kita, bahwa, nggak peduli
bagaimanapun kita melakukan hal yang ingin kita lakukan, semuanya nggak akan
cukup. Nggak peduli sebanyak apapun kita mengucapkan rasa cinta kita, semuanya
nggak akan bisa menghentikan kematian, penuaan, dan jenis takdir lainnya. Kedua,
ketidaksempurnaan di diri yang orang kita cintai, nggak peduli seburuk apapun
mereka, seberapa dalamnya kita pernah terluka, tetap saja kita merindukan
mereka dan kangen ingin bersama mereka. Entah kenapa, sedikit sedih waktu
ngetik ini.. Kenapa ya, ada beberapa hal yang hanya bisa diajarkan oleh
kehidupan ini, setelah kita melalui kesedihan yang hebat? 😢ðŸ˜
Kehilangan dan duka juga mengajarkan untuk mengenali
kehidupan itu sendiri. Kehilangan mengajarkan bahwa kita itu rapuh, sama
rapuhnya dengan air mata yang mengalir. Kita juga mudah terlupakan, sama
seperti debu yang beterbangan. Kita juga tidak berdaya, sama seperti keheningan.
Itulah kita, rapuh, mudah terlupakan dan tidak berdaya. Mungkin karena itu jugalah,
kita harus selalu saling menjaga dan tidak diizinkan melukai siapapun. Melalui
kesedihan, hidup menawarkan kita kemampuan mencinta. Dengan kehilangan dan duka,
kita bertumbuh, mendewasa dan berkembang. Kehilangan dan duka, merupakan hadiah
yang aneh tapi juga indah.
Kehilangan dan duka, adalah bahasa universal. Kita bisa merasakan
kehilangan dan duka siapapun, sekali kita telah melaluinya. Kesadaran bahwa
hidup ini terbatas dan singkat. Nggak ada satu apapun yang dapat
menghentikan kehilangan ataupun duka. Dan nggak ada cara apapun untuk menghilangkan
rasa sakitnya. Nggak ada.
Ketika aku kecil, aku ingat dibacakan buku cerita oleh ibuku.
Seringnya tentang cerita Nabi atau tokoh islam. Ibuku tahu bahwa kehilangan dan
duka sulit untuk diterima anak-anak. Beliau membacakan aku kisah itu untuk
mendekatkanku pada cara memahami penderitaan dan bagaimana kita yang beragama menghadapinya.
Iya jawabannya adalah kita harus bertahan. Dengan bertahan, suatu saat akan
tiba waktunya kita bersinar sehingga kelak kita bisa lebih bersyukur.
Mendewasa, tentu aku tidak se-clueless ketika aku masih kecil.
Sekarang aku paham..
Kita merupakan makhluk yang tidak sempurna dalam ketidaksempurnaan. Kita juga adalah makhluk yang menemukan kekuatan dalam ketidakberdayaan.
Itulah
kenyataannya. Dan disitulah letak keindahannya.
Tulisan ini khusus dibuat untuk seseorang yang sedang mengalami
kehilangan dan sedang berduka.
Semoga dan semoga, kehilangan dan duka memberi kita semua
pelajaran. Mengenai empati, kelembutan, pendewasaan, dan pemahaman betapa rapuhnya
setiap kehidupan.
Sedih ya
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
Delete