"To die is poignantly bitter, but the idea of having to die without having lived is unbearable"
- Erich Fromm
Sebelum aku baca buku The
Art of Living karya filsuf Erich Fromm, aku rasa aku ngga pernah mikirin apakah
hidup itu punya gaya tertentu atau dilakukan berdasarkan ilmu tertentu. Pemahaman
mendalam tentang hidup ngga begitu saja terpikirkan karena kita hidup.
Yang kita semua pasti sadari,
hidup kadang menyenangkan dan lebih sering memberi pelajaran.
Tapi sulit untuk memahami
bahwa sebelum hidup yang kita punya sekarang, pada masanya hidup itu cuma “just
being”. Lo hidup jadi diri lo, udah. Itu seni.
Pusing ga? Ya udah
bacanya sambil rebahan dong..
Karena aku baik dan
rajin, aku jelasin biar kamu ikutan smart kaya aku ya..
Jadi.. zaman dulu tuh
ga ada prinsip ownership alias prinsip kepemilikan, bayangin dong ya ribuan
tahun lalu dimana hidup kaya bangsa Mongolia yang nomaden, berkomunitas,
dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sederhana seperti beternak, bercocok
tanam, mengambil segala sesuatu yang alam tawarkan untuk sungguhan diolah.
Di zaman itu, orang belum
klaim sertifikat tanah, belum mikirin ini gunung milik siapa, ini sumur yang
menguasai siapa..
Nah! Privatisasi atau proses “kepemilikan”
itu baru ada pas masyarakat mulai memilih hidup menetap. Di situ lah awal muncul
kata “memiliki” (having) untuk pertama kalinya.. and that's where the problems begin.
Seni hidup menurut Erich
Fromm sesungguhnya bisa disarikan jadi: life is about being, not having.
Apaan sih BEING? Bahasa Indonesia-nya
being ini “menjadi”, tapi apa sesungguhnya makna ‘menjadi’?
OOT dikit. Aku sendiri
sebagai anak sains dan berkarakter analitik, agak sulit mencerna Bahasa filsafat
karena menurutku kadang it is not practical and where I applied that.
Tapi belakangan semua buku yang aku baca ternyata berbau filsafat, kalua dianalisis,
ini karena jiwaku mulai lebih dewasa dan membutuhkan pemahaman tentang esensi kehidupan.
Ceilehh #bizaksanabizaksini #bijakituseksi
Menurutku, ada beberapa
poin penting biar kita sampai pada pemahaman apa itu ‘menjadi’.
1. Pemahaman mengenai diri
sendiri
Saya adalah saya. Hati dan
perasaan saya dapat serasional pikiran saya. Begitupun pikiran saya dapat seirasional
hati dan perasaan saya.
(hal. 27)
Kalian pernah mikirin ga
sih? Sebenernya kalian itu orangnya kaya gimana? Yang bikin diri kamu jadi “diri
kamu”, dan bukan orang lain, apa sih?
Hal terpenting untuk belajar
seni hidup, kamu harus tau… tentang diri sendiri.
Tentang hati,
perasaan, pikiran kamu.
Ketiga hal ini yang
menjadikan kamu hidup jadi kamu.
MENJADI.
2. Pemahaman mengenai permasalahan
HAVING/memiliki
... jika
seseorang tidak ‘memiliki’, dia bukan apa-apa. (hal.77)
Aku yakin ada
waktunya kalian lelah banget sama hidup ini dan ngerasa kaya robot kan? Di
situlah permasalahan having, sebagai seseorang yang hidup, kita justru berubah
menjadi komoditas (punya value karena menyesuaikan diri sengan kebutuhan
pasar), kemudian kita juga sering malu kalau menunjukkan bahwa kita punya emosi,
yang lebih parah lagi kadang kita mematikan nurani kita dan menjadi terasing
bahkan dengan diri sendiri.
Aku sendiri selama ini,
selalu berpikir bahwa sebagai manusia, idealnya memang kita menikmati proses,
bukan melulu mendewakan outcomes dan output seolah kita mesin. Aku baru sadar kalau
konsep ini sesungguhnya penting dan luput dari
lingkungan pendidikan. Lingkungan pendidikan dan habitat manapun saat ini, ngga ngajarin seni
hidup, seni untuk menjadi.. alih-alih justru menjadi institusi dan ekosistem peletakan dasar
seni ‘memiliki’.
Makanya sebagai manusia
kita sering kesepian, karena ya……. Kehilangan seni menjadi. Seni hidup.
Oiya, di 2021 ini, resolusiku
adalah harapan kita semua. Hidup dengan seni. 😊
Btw kalau masih ga paham
sama tulisan kali ini, silakan banget nanya, tapi sama diri sendiri, hahahhahahah males ah sama kamu aku mau menikmati senja dari rumah dulu~
senja dari rumah abi dan umi, cakep banget kayak yang nulis hmm |
Comments
Post a Comment