Kalau kamu sudah nonton Social Dilemma di Netflix akan lebih terbantu untuk memahami buku berjudul Surveillance Capitalism karangan Ibu Soshana
Zuboff ini. Di dokumenter Social Dilemma penekanannya lebih ke arah bagaimana
kita sebagai manusia dibuat kecanduan main sosmed, dan bagaimana diam-diam
ternyata menjadi sasaran untuk pemasaran produk. Ya ujung-ujungnya cuan sih~
Sementara di buku ini ruang lingkup bahasannya meluas hingga
menyentuh aspek politik, menjelaskan dari latar belakang kenapa bisa kejadian si
digital ini berulah, dan nunjukkin apa aja yang bisa terjadi kalau kita ngga
sadar fenomena ini.
Jadi.. Surveillance itu artinya pengawasan, pengintai, atau
mata-mata gitu.. Secara sederhana surveillance dapat dimaknai sebagai CCTV yang
selalu mengawasi gerak-gerik kita. Kemudian kenapa bawa-bawa kapitalisme? Itu
karena adanya motif ekonomi yang melekat! Intinya tuh dia stalking kita dan dapet duit dari situ (?)
SIAPA? Kalau di sini sih, BIG 5: Google, Amazon, Apple,
Microsoft, Facebook.
Disinyalir sebetulnya surveillance capitalim ini ekstensi
dari capitalism yang sudah ada. Kalau dulu capitalism support pemilik modal,
sekarang surveillance capitalism support pemilik modal yang menguasai teknologi.
Jujur aja pas baca buku ini sebenernya ngga kaget-kaget
banget sih.. sebagai orang Indonesia yang biasa distalking dan data dirinya
dijual sana-sini. Bahkan mungkin.. kita malah mikir nothing to
lose kok dari dimata-matain pemilik raksasa digital.
Nyatanya.. Manusia Indonesia umumnya secara statistik rela menukar
data privasi demi kenyamanan. Emang yang nyaman itu ga bisa ditolak sih. Apakah penting punya privasi, kalau ga punya privasi bikin lebih nyaman?
Contohnya aja kalau kamu pake Google Maps, pasti lebih
nyaman kalau kamu kasih data GPS kan? Ya udah lah biar enak aja gitu, lagian emang
kita punya pilihan apa sih? Kita tuh begitu mudah memberikan akses pada storage hp kita, yang didalemnya termasuk galeri, kontak telpon, history
browsing. Kasih aja dah semua, jangan nanggung kalau udah nyaman! Hadeuhh~
Buku ini bilang, yang mesti diwaspadai itu... kita ngga sadar
kalau mereka tuh sebenernya berusaha membaca perilaku kita untuk ujungnya merubah
perilaku kita.
Pernah sih kejadian di aku, tiba-tiba ada
iklan dompet di Instagram, padahal diinget-inget sampe beberapa bulan ke belakang tuh
aku ngga kepikiran ganti dompet. Tapi kemudian pas liat iklan itu, “kayanya aku
butuh dompet!! Biar baru aja gitu, lucu jugaa”
Ini teknologi udah kaya dukun. Prediksi aku mau apa bahkan
sebelum aku berpikir kalau aku mau. Dan emang kaya dukun, aku jadi kaya
kesambet buka toko online, jeng jeng jeng, ga usah diketik keyword dompet, udah
ada paling atas rekomendasinya.
Sialan kamu ngintipin isi hati aku dan berani-beraninya baca
pikiranku.
Jualan data diri kita itu masuk capitalism, tapi
nge-stalk kita sampe masuk tahapan mau merubah perilaku kita itu masuk kategori
surveillance capitalism.
Inget yaa.. Teknologinya ga salah, orang yang mengendalikan teknologi ini
yang bangsat.
Buku ini sebenernya ngungkapin banyak fun fact yang bikin
aku cukup tercengang. Misalnya saja, tahukah kalian bahwa Terms of Service di
sosmed itu ternyata emang dibuat ribet dan Panjang, biar orang males baca dan ujungnya agree ajaa.. WTF
moment banget kan(?)
Terus ternyata tiap kali sosmed memberi pilihan untuk “personalization”,
itu biasanya mereka sudah punya cukup banyak metadata tentang kita. ((FYI data itu berbeda dengan metadata, bedanya simple, metadata itu memuat informasi
mengenai data. Kalau data cuman foto doang, kalau metadata mencakup juga informasi
dimana foto itu diambil, kapan, objek apa saja yang ada di foto itu)) Kalau udah
punya banyak metadata kita, ya mereka udah paling paham lah sama tingkah kita,
kalau udah paham gampang lah nyetirin kelakuan kita. HUHUHU Jahad kan.. apalah
hamba yang hanya remah-remah digital~
Terlampir bagan ilmiah di bawah ini, biar keliatan pinter coba
dipikirkan~
(eh btw ngubah perilaku tuh bukan hanya mengubah jadi hobi
belanja aja ya, ngubah perilaku jadi percaya hoax dan dicuci otak sama pemahaman
yang salah juga termasuk!)
Kekurangan dari buku ini menurut aku beliau hanya membahas
dari perpektif korporat aja, padahal seperti kalian ketahui, negara pun bisa
melakukan surveillance terhadap rakyatnya.
Contoh kasus kan sering tuh ada isu yang berhubungan dengan
peretasan akun WhatsApp lah, email lah, sosmed lah. Padahal katanya pake
enkripsi yang paling aman, tapi kok bobol?
Yep, dunia digital di kita ini superduper longgar hukum dan
aturannya. Negara punya power lho untuk mintain data kita ke perusahaan sosmed,
atas dalih ‘keamanan negara’!!! Wih ngeri ngga tuh, bukan aja ancaman korporasi,
tapi juga negara!
Ketika pada awalnya lo ngira bahwa sebagai warga negara, lo dilindungi
negara lo, justru kenyataan membangunkan lo. Ngga! Lo sama sekali ngga aman!
Sekarang kalau kamu tanya, terus kita harus gimana? Masa harus
balik ke zaman tinggal di gua, berburu dan bercocok tanam sih?
Aku yakin kalau kamu milih kaya gitu, kamu bakal aman, tapi
kamu bakal terdiskoneksi dari dunia. Jangan! Nanti aku kangen~ eeeaaa~
Buku ini bilang tetek bengek kedigitalan tuh ga bisa kita
hindari mau gimanapun.
Yak! Kekurangan lainnya dari buku ini adalah tidak komprehensif
menjelaskan bagaimana solusi atas surveillance capitalism ini? Mungkin karena
penulisnya akademisi dari ranah bisnis jadi rada canggung juga gitu kan
mengkritik apa yang memang kita perjuangkan~ Yes PROFIT beb. Di atas HAK LO,
ada PROFIT. Hak lo ngga penting. Begitulah biasanya prinsip bisnis..
Menurut kamu gimana?
HMMM, inilah kenapa aku harus punya teman diskusi~ Kalau
kamu membaca postingan ini dan mau berkomentar terkait apa saja, pliz kontak
aku!
Aku mau propose ide tentang solusi isu dunia digital dan
tetek bengeknya ini:
1. Fight capitalism with more capitalism! AHHAHHAHA.
Kamu hapal kan slogan yang bilang, “kalau lo ga bayar
produknya, mungkin lo adalah produknya!”
See solusinya ada di kalimat itu, LO BAYAR. Kalau make
sosmed bayar!
Aku ga tau apakah ini bisa diterima atau ngga, tapi kalau
diinget lagi, VCD bajakan tuh sebenernya udah digantikan dengan channel
nonton streaming berbayar? Dan orang pada mau kok.
Cuman masalahnya, apakah kalau kita memonetisasi sosmed,
insentifnya dapat mencukupi sehingga mereka ga usah jualan data kita apalagi
sampe menginspirasi kita untuk belanja dan melakukan sesuatu lainnya?
2. Basic Human Right mungkin bakal butuh direvisi dengan penambahan
digital right.
Selama ini aku rasa peraturan dunia digital tuh kaya sunnah
gitu, ada bagus, ga ada ya ga apa-apa. Makanya hidup di dunia kapitalisme
pengintai, kita harus pandai menjaga diri. Karena layers protection tuh ngga
ada. Salah pencet dikit, bisa bui. Zaman sekarang, disinformasi dipolitisir. Solusi
paling masuk akal adalah dengan meramu kebijakan yang melindungi kita secara
digital, sebenernya dulu tuh ada gaes muncul ke permukaan RUU KKS (Keamanan dan
Ketahanan Siber) yang pasalnya terkait infrastruktur perlindungan siber,
misalnya perlindungan dari fishing, ransomware, pembobolan rekening.
Sayang dalam perjalanannya, kita malah jadi punya UU ITE (Informasi
dan Transaksi Elektronik) yang seringnya dikaitkan dengan pasal pencemaran nama
baik lah, asusila lah, makar…. Ya udah daripada mikirin hal eksternal yang ga bisa kita kontrol, baiknya kita fokus pada internal yang dapat kita kontrol:
3. Ingatlah semua jejak digital itu selamanya ada, jadilah warga yang berkarakter yang bikin diri kamu sendiri bangga di masa depan!
Semangat selalu, budak cuan!
Comments
Post a Comment