Tahun
ini belum berakhir, tapi lelahnya sudah terasa menjalari sekujur tubuh. Aku
menulis ini sambil mendengarkan Ari Lesmana X Ananda Badudu - Sampai Jadi Debu.
Izinkan aku meringkas dalam satu paragraf pendek mengapa tahun ini mengubah kita
menjadi makhluk yang menjengkelkan. Satu orang yang kita kenal dekat
meninggalkan kita. Seseorang itu… Orang yang sama dengan kita, yang hari ini
menyangka bahwa besok dirinya akan tetap hidup… Nyatanya meninggalkan dunia ini
untuk selamanya, tanpa peringatan, tanpa persiapan, tanpa pertanda. Oh
berbicara pertanda. Bau kematian di tahun ini begitu kencang. Kelelahan tukang
gali makam untuk pertama kalinya menjadi headline berita nasional. Setiap kali
membaca berita terkait seorang dokter yang baik, jasanya tak terhingga dan
sekelumit gambaran keluarganya, aku sungguh terenyuh dan bersedih hati. Ujian
kesabaran ini kian hari levelnya makin berat, seolah mendekati akhir sebuah
game. Hanya saja saat ini kita tidak tahu… ada berapa level game ini? Kita
sudah di level berapa? Sehingga pada kesimpulannya, kita tidak tahu… kapan ini
akan usai?
Izinkan aku memberikan clue tentang apa yang terjadi yang menjadikan tahun ini
merupakan tahun dimana kita menjadi orang yang tidak kita sukai. Banyak rencana
yang hanya menjadi wacana, yang entah akan terlaksana atau tidak. Banyak polusi
pikiran karena semua orang seolah memiliki opini paling benar terhadap segala
sesuatu. Bodohnya lagi… Semakin seseorang tidak kompeten, semakin dia keras
berteriak dan panggungnya semakin mudah digelar. Banyak pula kejayaan yang
seketika dihancurkan oleh tertutupnya mata hati, laju ekonomi nyatanya masih
lebih penting dibanding keselamatan umat manusia. Atau memang sekali lagi… umat
manusia yang cukup bodoh dan sudah lelah hingga tidak mau diselamatkan.
Kebijakan berbasis kemenangan pribadi dinormalisasi, diinternalisasi,
dipaksakan untuk diterima.
Izinkan aku menambahkan satu lagi penjelasan padat mengenai mengapa tahun ini menjadi
tahun yang sangat membuat hati amburadul… Iya, isu resesi ekonomi, padahal
sebelum tahun inipun terjadi stagnasi ekonomi. Bukan saja ekonomi yang melambat
seperti siput, dia mundur ke belakang. Jika mau berbicara arti sampai pada
level manusia, resesi ekonomi artinya…. Kita gagal atas apa yang sebenarnya
kita mampu, bukan karena kita tidak mau atau tidak memiliki keinginan untuk
melakukannya, hanya saja kita tidak bisa. Semua ini kemudian bermuara pada
kecemasan, patah semangat, putus asa, kemarahan, yang bisa meledak kapan saja.
Semuanya dapat dimengerti. Tapi harus diingat, kalau sistemnya gagal, kita
tidak boleh menyerah pada sistem. Dunia memang telah menjadi tempat yang lebih
gelap, tidak bersahabat, lebih bengis, bisa melahap keceriaan balita manapun.
Apabila kita hanya berjalan terbalut cangkang, tanpa ada isi didalamnya,
perjalanan kita di tahun ini, akan membuat kita pecah berkeping-keping. Hancur
tanpa sisa.
Izinkan aku lagi untuk berkeluh kesah tentang mengapa tahun ini menjadi tahun dimana
kita berubah menjadi manusia yang menyedihkan. Adanya sosial media tahun ini
sangat mengacaukan. Twitter, Instagram, Facebook. Ke semua tempat itu menjadi
liang kita bersembunyi dan mengalirkan sisi yang kita pendam. Aku selalu merasa
bahwa sosial media tercipta bukan untuk manusia biasa. Seharusnya sosial media
hanya dimiliki oleh orang yang bersertifikasi bisa memberikan manfaat. Karena
jika tidak, yang terjadi adalah apa yang kita miliki sekarang. Meski dikatakan
‘sosial’ media, tidak banyak sosialisasi yang terjadi. Tidak banyak kurasi
kebahagiaan dan jarang ada perpanjangan umur sebagai dampak silaturahmi
sebagaimana mestinya. Yang kita temukan di sosial media hanyalah melulu tentang
keributan siapa yang berulah, siapa yang bersalah, siapa yang paling harus
dihakimi. Perang kecil-kecilan yang tak pernah usai. Tentang perbedaan yang
selalu memisahkan, diantara orang-orang yang seharusnya tidak memikirkan itu
semua karena manusia lebih sama ketimbang beda.
Apakah
kita perlahan lupa tentang bagaimana menjadi manusia?
Tahun
ini merupakan tahun dimana kita berubah menjadi makhluk yang menyebalkan.
Kita
terkadang bukan lagi manusia. Kita seringkali berubah menjadi senjata yang
mampu mencelakai diri sendiri dan orang lain, karena kita kecewa dan marah… akan
sistem yang gagal, akan mimpi yang patah sebelum ia terpikirkan, akan harapan
yang perlahan berubah menjadi rasa frustrasi, dihancurkan oleh ketidakmanusian
manusia, dikerdilkan oleh media yang katanya membantu peran sosial.
Padahal
ketika kita terlahir sebagai manusia, tugas paling utama kita adalah berhasil
menjadi manusia seutuhnya. Yang lainnya merupakan tugas tambahan. Bukankah ini
berarti kita harusnya berjuang untuk kelayakan menjadi diri sendiri yang
sepenuhnya dan seterusnya lebih baik? Bukankah di situ pula batu yang dinamakan
“privilege” sebagai manusia diletakkan sebagai batas antara kita yang manusia
dan yang bukan?
Hari
ini sudahkah kamu memikirkan cara-cara bagaimana agar tahun ini kita tidak lagi
perlahan berubah menjadi makhluk yang kita tidak sukai itu?
Izinkan aku memulai pembicaraan kali ini, dengan melempar pertanyaan… Menurutmu,
apa maksud dari “sukses menjadi manusia”?
Tahun
ini merupakan tahun dimana kita berubah menjadi makhluk yang menjengkelkan…
tapi juga memberi kita sudut pandang dan kacamata baru untuk melihat.
Bahwa
sukses menjadi manusia, selalu erat kaitannya dengan hidup penuh mimpi,
keinginan mencipta, mencinta, berimaji, menderita, memahami, dan hingga kelak
kita merasa cukup, untuk melepaskan semua ego yang memenjarakan diri sendiri.
Rengkuh kehidupan!! Seize the day!! Di antara kita, ada yang berangkat bekerja
dan pulang dalam keadaan telah menghembuskan nafas terakhir. Ada pula yang
tertidur dan tak pernah terbangun lagi. Kita selalu lupa akan privilege kita
selaku yang masih hidup. Kata saja tak pernah cukup untuk mensyukuri kehidupan.
Pada
akhirnya aku sadar, bahwa sebagai manusia, kita berada di garis yang penuh
dengan berbagai kemungkinan tapi juga dipenjarakan dengan dinding-dinding yang
membatasi. Keduanya bukan bertolak belakang. Tapi hubungannya lebih seperti
sungai dan lautan. Yang satu akan mengalir menuju yang lain secara kontinu. Keterbatasan
kita sebagai manusia juga lah yang melahirkan banyak peluang-peluang ajaib
menunggu untuk dieksplorasi.
Bahwa
sukses menjadi manusia juga berarti mengampuni diri sendiri, berdamai dengan
keadaan, gigih dalam memperjuangkan kebaikan, dan terus bertahan sebagai bentuk
memenangkan diri dari game dengan level unknown dan full uncertainty ini. Satu
per satu kita lalui bersama.
Jadi
harapanku hari ini cukup satu dan sangat sederhana. Hari ini, semoga menjadi
hari dimana kita berubah menjadi makhluk yang tidak lagi menyebalkan. Karena
perlahan mungkin tahun depan, menjadi tahun dimana kita berubah menjadi makhluk
yang menyenangkan. Aku harap kamupun berharap hal yang sama.
Terima
kasih sudah mengizinkanku bercerita. Sampai ketemu lagi besok.
Salam
hormat,
Aang
Comments
Post a Comment