Lebaran sudah di depan mata.
Hari Minggu nanti ritual idul fitri yang biasa terjadi akan dilaksanakan dengan
protocol yang ketat, belum pernah sebelumnya ibadah sunnah penyangga idul fitri
masuk dalam berita utama, baru di tahun ini. Belum lagi jalanan tol menjelang
lebaran yang tidak begitu macet.
Di lebaran nanti, orang tua
ku sudah mempersiapkan aturan untuk mengunci rumah menghindari tamu yang ingin
berkunjung. Open house mungkin akan kami lakukan setelah hari minggu, toh
persoalan minta maaf bisa dilakukan dengan cara lain yang lebih menenangkan.
Lagipula menurutku, manusia itu tempatnya salah. Seperti sering terjadi ketika
lebaran adalah, paginya sungkem bersalaman minta maaf, siangnya sudah misuh-misuh,
sambat-sambat, kesel dan iri, iya pokoknya bikin dosa sudah seperti hobi yang
ditekuni.
Gampang minta maaf, gampang
bikin salah. Semuanya gampang, yang susah itu jadi rakyat Indonesia. HAHAHA.
Ramadhan tahun ini rasanya
membuktikan bahwa kita bisa baik-baik saja tanpa buka bersama di tiap alumni
semua level edukasi dan sobat perkantoran tiap minggunya. Ramadhan ini juga
baru sadar kalau keluargaku kompak mengucapkan aamiin untuk shalat tarawih
setelah hari ketiga tarawih dilaksanakan. Ramadhan ini juga baru sadar kalau
ayah ibuku keduanya humornya receh, pantes saya suka akun kegoblogan unfaedah
sama akun receh tapi sayang.
Sebagai anak yang tidak hits
di inztagram, saya mendapati fenomena baru, saling mengirim hampers. Yang dulu
adalah parcel, iya sih mungkin itu kata digunakan ketika zamannya Ulfah dan Eko
bukanlah politikus melainkan host acara Sahur Kita Nyem Nyem Nyem.
The OG of hampers |
Sudah bisa diprediksi, desain
canva mengucap sorry lahir dan batin akan berserakan di postingan inztagram.
Tak lupa dengan kata-kata yang templatenya selalu sama. Entah sejak kapan
rasanya agak mati rasa ketika membacanya, mungkin ketika awal-awal rasanya
bergetar, apalagi pas masih melalui SMS dan redaksionalnya puitis sekali.
Ada petuah yang menjadi hits
belakangan ini, “lebih mudah meminta maaf daripada meminta izin.” Pada beberapa
institusi atau organisasi yang sangat tidak fleksibel tentu izin menjadi
seperti tulang ekor, tidak tahu kapan akan muncul ke permukaan. Jadi teringat
bahwa maaf sepertinya dari tahun ke tahun terus terkena inflasi..
Maaf bukannya saya suka minta maaf, tapi maaf... |
Kalau diingat-ingat, rasanya semua permintaan maaf memang tidak seserius itu, hanya formalitas saja. Dilakukan begitu saja, tanpa benar-benar merenungi kesalahan apa yang telah diperbuat dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Bukankah maaf adalah jalan taubat? Dan sudah seharusnya maaf juga menjadi gerbang kembali menuju fitri. Kalau maafnya hanya di layar belaka tapi tidak sampai ke hati, apakah tetap ‘menuju kemenangan’?
Dulu sekali zaman SMS,
mungkin karena saya masih kecil dan belum memikirkan ini semua, saya cenderung
mengirim permintaan maaf dengan fungsi send all. Begitu beranjak dewasa,
melalui WhatsApp, permintaan maaf dikomunikasikan dalam grup-grup yang mewakili
alur hidup yang berbeda. Grup teman SD, teman SMP, teman SMA, teman kuliah,
teman kantor, teman dekat. Hanya kepada sahabat terdekat saya meminta maaf
personal, tapi juga belum sampai pada tahap memikirkan dengan sungguh apa saja
salah dan dosa saya padanya, untuk kemudian dievaluasi supaya tidak pernah
terjadi lagi. Ya minta maaf aja dululah, emang momennya juga gitu kan…
Ya Allah kenapa saya sinis
sekali ya.. Tapi pada postingan kali ini, saya menyadari bahwa seharusnya kita
tidak semudah itu dalam meminta maaf kalau belum tahu adabnya. Saya ingin
meminta maaf menjadi sesuatu yang bernilai. Yang tidak seharusnya diumbar
sehingga menurunkan maknanya.
Salam tuma'ninah,
Si saya.. (pake ng jangan?) 😙 😜
Comments
Post a Comment