Sebenarnya judul ini terlahir ketika aku membaca terjemah Surah
Al-Qiyamah. Surah tersebut tidak sedikitpun berbasa-basi, langsung menguarkan bau
kematian dan tragedi hari kiamat. Itu semua mengingatkan bahwa selama ini aku
hidup dalam kelalaian dan seringkali melupakan bahwa hari akhir itu pasti datang. Aku selalu
merasa lebih dekat ke bumi. Surga terasa jauh.
Sejak pertengahan Maret lalu, untuk pertama kalinya kematian
terasa sangat dekat. Jaraknya tidak lagi sepelemparan tombak, kini jaraknya sekilat
kedipan mata. Jika kalian sebelumnya tidak begitu dekat denganku, maka
ketahuilah, bahwa aku memiliki pengalaman ditinggalkan karena kematian.
Kakakku, adikku, salah satu paman favoritku, dan sahabat dekatku. Rasa
kehilangan yang menghampiri sama sakitnya seperti tulang yang menyangga badanmu
dilolosi satu persatu, kemudian pada dadamu ditimpakan bumi dan segala isinya,
beratnya meremukkan dan menghancurkan segala daya. Imbasnya sampai terasa di jiwa
dalam getaran atomik yang membuatmu dilanda awan hitam yang membukakan
kengerian dan kepahitan.
Aku bersyukur memiliki wanita super kuat di sampingku. Ibu.
Ibuku selalu mengajakku untuk melihat kematian dari sisi orang yang pergi, bukan
dari sisi orang yang ditinggalkan. Ujar beliau, “Bagi mereka yang telah pergi,
rasa sakitnya hilang, dan kembali ke pelukan Tuhan, bukankah itu hal yang baik?”
Aku masih sangat kecil kala diajarkan makna kematian dan memahami tujuan
kepergian.
Aku teringat kebiasaan ibuku yang membawa topik kematian
seolah dia hidangan lezat yang bisa disantap saat makan malam. Saat ibuku sakit,
biasanya beliau akan mendudukkan anggota keluarga inti di samping tempatnya
berbaring. Beliau meminta maaf apabila ada kesalahan dan menjelaskan apa yang
harus dilakukan ketika kita berpisah. Beliau juga berpesan agar kami selalu menjaga
kesehatan, selalu akur dan menebar kebaikan dimanapun kapanpun. Kali pertama
aku mendengar hal ini, rasanya aku sangat kesal. Aku tidak bisa menerima pembicaraan
ini secara terbuka. Menurutku terlalu cepat, seperti ingin memprediksi takdir dengan
asal. Yang ada di pikiranku saat itu hanya, “Jangan bicara seperti itu, masih
akan lama hidup ibu, masih akan banyak hari yang akan kita lalui karena ibu
akan sehat kembali.” Iya, bisa dikatakan aku terlalu percaya diri dengan harapan
yang aku buat sendiri, tapi hanya itu kelogisan yang bisa dinalar. Hingga kini,
kebiasaan itu selalu terselip membuatku bergidik mempertanyakan kesiapanku di antara
simulasi ini.
Dewasa ini, aku baru sadar bahwa semua itu bukan semata
praktek pembelajaran tanpa kurikulum. Ibuku pun telah dilatih oleh kedua
orangtuanya. Mereka memperlakukan ibuku serupa. Bahkan lebih-lebih, kakek
nenekku telah menerangkan wasiat kematiannya. Bukankah kini juga kita menyadari
bahwa persiapan yang berlebihan masih jauh lebih baik ketimbang tidak sama
sekali. Dimulai dari membicarakan kematian hingga kelak tiba masanya, kita sudah
tahu apa saja yang harus dilakukan. Meski terasa berat, namun seseorang harus
menginisiasi upaya untuk meringankannya.
Ketika pertama terjadi outbreak, aku terkejut menyadari
pikiranku sempat dipenuhi oleh bayangan kematian. Aku segera memberikan
password handphone ku kepada adik perempuanku, dan pin ATM pada adik
laki-lakiku. Selebihnya aku berpesan kepada sahabatku untuk membantu memberikan
biaya adik-adikku menyelesaikan sekolah. Memang sungguh, kita memahami apa yang benar-benar penting dalam hidup ini ketika kita bersinggungan dengan maut.
Hai kamu, maaf aku sampai lupa menyapamu. Aku ingin bilang
ini padamu. Jangan pernah lupa, bahwa hati manusia adalah organ yang paling
kuat juga fleksibel. Meski dia telah dipatahkan oleh kepiluan, ia akan membaik seiring
waktu. Jadi jika kelak terjadi sesuatu padamu, aku telah selangkah menuntunmu. Terima
kasih masih bertahan hingga hari ini. Kelak, surga terasa lebih dekat.
Thank you for being alive~
|
Salam sayang,
Aang
Aang
Comments
Post a Comment