Isu yang bakal gw bahas hari ini bakal agak berat. Tapi menarik. Di
postingan sebelumnya, gw bilang bahwa budaya bisa berubah karena kekuasaan atau
keadaan yang membuatnya demikian. Dan kemarin gw baru nemu konsep soft power yang dicetuskan oleh professor
Harvard bernama Joseph Nye. Ringkasnya menurut Nye ini soft power itu kemampuan
untuk mendapatkan apa yang kamu mau melalui suatu daya tarik ketimbang paksaan
atau insentif. Daya Tarik ini bisa muncul dari budaya, ide politik atau
kebijakan. Ketika sebuah kebijakan disahkan, soft power ini akan nyata jika masyarakatnya
tunduk. (Referensi bacaan: Japan’s “Soft Power”)
Konsep lainnya adalah extremism, apa yang sering kita sebut terrorism,
ada yang bilang terrorism ini sebenernya merupakan pengertian yang mengacu pada
metodologinya. Kenapa dari soft power nyambung ke extremism? Karena perbedaannya
ada di pemaksaan. Dan ketika lo bisa menggunakan soft power untuk merubah
seseorang menjadi extremist, dimanakah letak kesalahannya?
Nye sendiri bilang kalau soft power hanya bisa terutilisasi kalau
lingkungannya menerima soft power itu sendiri. Jadi ketika bicara seorang
ekstrimis, mereka mungkin saja tidak berada di bawah paksaan, gw selalu
berpikir kenapa ada orang cukup bodoh untuk melakukan bom bunuh diri? Kenapa ada
yang mau mengorbankan nyawanya demi sebuah ide yang utopis? Katanya sih ya, extremist
itu dicuci otaknya dan ditanami ide dan nilai-nilai baru.
Selain extremist agama, ada juga loh nasionalist extremist. Kalau yang
pertama diiming-imingi surga, yang kedua mungkin related sama keadilan, atau
kekayaan, entahlah apapun itu. Gw sebenernya agak penasaran sih, ada ga sih
sebuah lingkungan atau katakanlah negara yang didalamnya ga akan terbentuk kelompok
ekstrimist? Karena mau lo negara maju, berkembang, tertinggal, permasalahan ini
nampak seperti noda yang membandel gitu, ga mau hilang.
Gw kemudian berpikir kalau masalah ekstrimis ini juga ada kaitannya
dengan perekonomian, ya kalau ngga kenapa sampe ada artikelnya di business insider, wqwq. Di situ sampe dikatakan bahwa kita ga akan bisa mendeteksi siapa yang
akan berubah jadi radical kemudian ekstrim, sampe ditemukannya sebuah mesin
untuk memindai jiwa manusia. Terdengar seperti plot cerita untuk serial Black
Mirror bagiku.
Namun secara general gw bisa bilang bahwa seseorang terlibat menjadi
extremist karena kecenderungan manusia untuk merasa tidak bahagia. Ini gw
statistiknya ngarang sih, tapi gw yakin sebagian besar extremist orangnya yang
hidupnya penuh penderitaan gitu, miskin, terdiskriminasi, termarjinalisasi. Ketika
lo merasa ga bahagia, lo akan mudah merasa putus asa. Dan orang yang berputus
asa inilah mangsa empuk untuk direkrut menjadi teroris atau ekstrimis. Alasannya
sederhana, karena si perekrut pastinya menawarkan “kehidupan yang lebih baik”.
Kasusnya bisa terjadi pada individual atau organisasi besar sih.
kalau lo putus asa, terus seseorang memberi jaminan kehidupan yang lebih baik,
tentu saja mudah kelak baginya untuk mengorbankan apapun. Contoh mudahnya kaya
hubungan anak ke orang tua sih, gw selalu merasa bahwa gw berhutang budi yang
sangat banyak sama orang tua gw, dan untuk membayarnya gw bahkan pernah
berpikir gw rela melakukan apapun untuk kebahagiaan mereka berdua, iya saking
mereka seberjasa itu, tapi dalam kasus ini murni semuanya penuh rasa cinta
damai ya..
Btw kalau pernah baca Haruki Murakami – Underground, tentang
sebuah cerita Serangan Gas Sarin tahun 1995 yang membingkai bahwa keputusasaan
bahkan bisa menghancurkan seseorang yang kita duga hidupnya berbahagia. Jadi masalah
intinya ada di kepuasan hidup. Lihat masalahnya
ternyata bukan hanya dari sisi ekonomi tapi dari manusia itu sendiri yang sudah
dari sananya memang sulit untuk dipuaskan.
Gw sih selaku muslim, selalu hidup dengan mempromosikan toleransi.
Gw sungguh ga peduli terhadap keyakinan orang lain selama kamu orang baik dan
tidak saling mengganggu apa yang kita percayai, ya kita bisa lah ngopi dan
ngobrol tentang apapun. Saran gw, kalau emang kita ga suka, kita seharusnya
lebih peka dan bisa menahan diri untuk mengabaikan rasa tidak suka itu, karena
itu juga bagian dari toleransi.
Gw yakin Pendidikan ambil bagian juga sih, sudah seharusnya manusia
lebih banyak baca buku ketimbang lebih banyak bicara. Mungkin senjata bisa
menghentikan perang terhadap teroris, tapi jika ideologi mereka sulit
dihancurkan, maka bijak rasanya jika kita mengetahui batasan ide mana yang
salah, mana yang benar dan mana gray area yang masih harus dipertimbangkan
jutaan kali. Jika kita sudah tahu, tentu kita akan berusaha menghentikannya.
Oiya lain kali akan kuceritakan padamu bagaimana menjadi seorang kaum
minoritas dari tempat di mana aku duduk sekarang.
Terima kasih sudah membaca racauanku hari ini. Have a good Sunday!
Comments
Post a Comment