Kemarin gw menggerutu “anjir ini feed Instagram gw isinya
bayi semua”, ya walaupun ada beberapa yang kontennya tidak mengandung bayi,
tapi tetep aja gw generalisasi karena selalu ada dan persentasenya terus
meningkat.
Dengan usia gw yang memasuki seperempat abad, memang wajar
kalau teman sejawat gw mulai beranak dan menjadi orang tua sungguhan.
Kemudian gw teringat salah satu pembicaraan gw bersama
seorang ahli so tau, dia bilang “menikah itu buat orang yang ga tau mau ngapain
lagi hidupnya ang.” Oke mari diperjelas. Seringnya masyarakat kita menerjemahkan
bahwa ketika kuliah kelar, pekerjaan ada, yang tersisa adalah berumah tangga,
mau ngapain lagi sih selain itu? Tuntutan untuk meminang dan dipinang itu
nampak menggiurkan memang, kita terbebas dari salah satu tekanan budaya, dan
lainnya adalah kita punya seseorang untuk berbagi segalanya.
Semenjak gw bersekolah, pertanyaan untuk pernikahan bisa
ditangkis dengan alasan “adek masih sekolah bang”, tapi jangan salah
temen-temen gw di jepang juga kadang bertanya apakah gw sudah memiliki pacar
atau belum, bukan, mereka bukan mau nembak gw, mereka cuma memulai percakapan
saja. Mereka memang sedikit banyak mirip Indonesia dalam budaya patriarki nya.
Perempuan boleh berkarir tapi harus pulang lebih awal dari suami untuk melayani
suami. Perempuan boleh mengambil PhD tapi tetap harus dirongrong dengan
kewajiban menikah dan mengurus anak.
Saya dalam hal ini tidak mengistimewakan perempuan, laki-laki juga kadang diperlakukan demikian kalau urusan pernikahan.
Saya dalam hal ini tidak mengistimewakan perempuan, laki-laki juga kadang diperlakukan demikian kalau urusan pernikahan.
Menyoal pernikahan, saya memang bukan orang yang pantas
untuk membahasnya secara komprehensif, sudut pandang saya sebagai seseorang
yang belum mengecap pernikahan kali ini akan saya ketengahkan. 👀
Curhat dikit boleh ya?
Pada suatu ketika, saya pernah menunjuk kakak kelas saya
sebagai seseorang yang “kalau dia ngajak saya nikah hari itu juga, akan saya
langsung iyakan.” Alasannya karena saya rasa bahwa dengan si doi hidup saya
akan jadi lebih baik dan lebih indah. Cuih banget ya.
Ada banyak hal yang membuat gw bertanya-tanya kok milih dia
sih, bagusnya apa coba?
Jadi keraguan ini datang ketika gw mengorek info tentang si
doi kepada informan terpercaya yang adalah sahabatnya. Semakin saya ngobrolin
tentang si doi, semakin si doi nampak ke-manusia-biasa-an-nya, makasih loh, dia
bukan lagi dewa asmara yang bisa saya nikahi on the spot di mata saya.
Begini informasi yang gw dapet yang bikin emoji love-love (😍) di
mata gw pecah (😟):
Si doi ternyata kamarnya berantakan.
Si doi anaknya sarkas. Ini gw masih harus meneliti sih
kenapa doi begitu? Siapa sih yang nyakitin kamu, mas?
Si doi dingin, lebih dingin dari Alaska, pokoknya kalau
deket-deket doi harus pake jaket, kalau ngga tar pilek.
Si doi juga nampak seperti seorang yang perhitungan.
Dan yang membuat gw agak shock adalah si doi ini kenapa sih
ngga selesai-selesai tesisnya anjir, gw kok mulai merasa ada indikasi mas-nya
ga tau prioritas dan ga disiplin. Masalahnya itu juga sifat gw, ga
mungkin dong gw masuk relationship dengan seseorang yang punya tabiat sama.
Ingat guys, persamaan membuatmu menyukai seseorang, tapi perbedaan akan
membuatmu mencintai seseorang, itu…👈
Selebihnya si doi masih masuk akal, dengan taste music,
tontonan, dan bacaan yang sangat menantang, gw tetep suka.
Gw akhirnya nanya ke diri gw.. “masih mau ang lo nikah sama
dia saat itu juga kalau dia ngajak?”
Jawabannya berubah. Shallow amat cinta gw. Wkwk.
Ngga seberubah itu jadi sih, doi turun satu tingkatan.
Sekarang ada di kategori kalau dia ngajak nikah, mau aja, tapi ngga saat itu,
pengen ngobrol dulu sama keluarga besarnya, sama sahabat-sahabatnya, sama
mantan-mantannya, sama tukang kupat tahu langganannya kalau perlu.
Just in case, cinta gw ga cukup besar untuk berkompromi pada
kenyataan tentang dirinya yang hanya manusia biasa itu.
Eh btw gw juga menemukan adanya kecenderungan persepsi
pernikahan dari anak-anak yang orang tuanya bercerai. Hal ini berawal dari
analisis gw terhadap dua temen gw, yang orang tuanya bercerai. Mereka membentuk
dua kutub yang berbeda, yang pertama realistis optimis, yang kedua idealis
pesimis. Tipe pertama, realistis optimis, mereka bakal dive in to the
relationship dan melihat perceraian
sebagai jalan keluar kalau pernikahan tersebut ga berjalan baik. Mungkin karena
mereka berefleksi dari kedua orang tuanya yang mereka lihat masih bisa bahagia
dan toh anaknya fine-fine aja. Sedangkan tipe yang kedua, meskipun mereka
nampaknya fine dari luar, tapi sebenarnya mereka sangat messed-up, tipe
sentimental yang dalam hati selamanya tidak rela orang tuanya bercerai. Mereka akan
melihat perceraian sebagai kegagalan, dan sangat menghindarinya. Makanya tiap
mau masuk dalam relationship, entah bagaimana, mereka takut akan bayang perceraian
orangtuanya, dan menjadi ragu dengan apapun. Yang ada di otak mereka kalaupun nantinya
mereka cerai adalah perkataan orang lain yang akan mencemooh “ya kayanya cerai
itu sudah menurun sebagai DNA di keluargamu.” Mereka ga mau denger hal itu, dan
berhati-hati dalam menjalin relationship, apalagi kalau membina mahligai rumah
tangga, tentu mereka akan semilyar kali berpikir apakah pernikahan ini ga akan
berubah dan apakah dia bisa ga jadi seperti orangtuanya. Seperti itu…. 👍
Ini hanya pemikiran-pemikiran gw yang menemukan kisah-kisah tentang
pernikahan.
Sebenernya gw udah sering bahas hal ini, dari mulai gimana
cari orang yang pantes dinikahin sampai apa yang mengganggu pemikiran gw
tentang pernikahan dan mempunyai anak.
Pembahasan ini tidak akan sampai pada suatu kesimpulan
mutlak sih, makanya masih bisa digali dengan berbagai perspektif, jadi…..sampai
nanti aku bertemu dengan seseorang yang kunikahi dan berbagi pemikiran bersama
tentang pernikahan, hal-hal tentang pernikahan akan terus mengganggu
keseharianku.
Ya sudah sekian untuk kali ini. 😺
Comments
Post a Comment