Judul tersebut merupakan terjemahan kasar dari salah satu artikel Alan Durning yang berjudul “How Much is Enough?” Kita mungkin tahu bahwa kata “cukup” itu sangat relatif dan maknanya tergantung kepada siapa yang mendefinisikan. Durning sendiri ga secara detail mendikte bagaimana seharusnya kita merasa cukup atau bagaimana proses kecukupan itu tercipta. Dia hanya memaparkan kegelisahannya akan sumber daya alam dan apapun itu yang makin hari makin habis tapi manusia ga berusaha buat ‘address the issue’. Maklum artikel jadul (artikelnya keluar pas gw lahir, tahun 1992), jadi isu ini posisinya saat itu masih ada di awal pergerakan. Tapi jujur saja, Indonesia masih ada di posisi itu, memulai dan belajar memahami.
The tragic irony of this momentous transition is that the historic rise of the consumer society has been quite effective in harming the environment, but not in providing the people with a fulfilling life.
Durning sampai mempertanyakan sampai seberapa banyak sih sesuatu itu bisa dikatakan ‘cukup’? sampai level mana konsumsi kita bisa disupport sama bumi yang kita tinggali ini? Sejak kapan sih manusia itu baru merasa puas ketika dia mendapat lebih banyak? Mungkin ga sih kita manusia bisa hidup nyaman tapi ga bikin planet kita menderita? Ada ga sih sebenernya kehidupan dimana konsumsi masyarakat itu ya..cukup gitu, ga di bawah garis kemiskinan dan tidak juga bermewah-mewahan? Apa hal semacam itu hanya terjadi ketika kita mati dan menempati surga sana?
Nah, Durning bicara lah. Dia bilang masalahnya aja kadang kita belum ngaku kalau ini tuh sebenernya masalah, maka dari itulah kita juga sulit menemukan solusinya gimana. Membatasi prilaku konsumsi untuk orang yang memang konsumtif itu dijabarkan sebagai sesuatu yang not politically possible, morally defensible, or ecologically sufficient. Anjir ribet ya, intinya mah impossible bin mustahil. Di sisi lain, mengurangi tingkat konsumsi masyarakat, secara moral bisa diterima tapi terlalu idealis (excerpt: reducing the consumption levels of the consumer society and tempering material aspirations elsewhere, though morally acceptable, is a quixotic proposal).
Durning juga menyinggung bagaimana masalah ini ditinjau dari sisi ekologi dimana kategori yang akan dibahas adalah energi, ekosistem, zat. Namun segi ekologis ini terlalu abstrak untuk kita realisasikan. Makanya beliau menitikberatkan pendekatan pada tiga aspek saja: apa yang kita makan dan minum, bagaimana cara kita bepergian, dan barang-barang yang kita beli dan kita gunakan (what we eat and drink, how we get around, and the things we buy and use). Renungan singkatnya adalah: In each case, the world's people are distributed unevenly over a vast range, with those at the bottom consuming too little for their own good—and those at the top consuming too much for the earth's good.
Lalu wacana yang digadang-gadang adalah mereformasi bagaimana caranya membuat suatu konvergensi (ketersebaran yang merata) dalam kelas-kelas yang tercipta di masyarakat. Durning kemudian menekankan: From the middle-income class would come the basic menu of an abundance of locally grown produce and clean drinking water. From the consumer class would come technologies such as small, super-efficient refrigerators, advanced cooking stoves, and hot water for washing. The result of such convergence would be healthier people and a healthier planet.
Kalau lu semua belum merasakan pentingnya masalah ini, ada baiknya mengingat kejadian dimana kita kalap atau lupa diri kala belanja. Ada satu titik dimana kita gelap mata dan berujung membeli apa yang sebenernya ga butuh-butuh banget, apalagi dengan hadirnya system belanja online (beserta godaan diskonnya) yang ada di gawai kita, kegiatan buang-buang duit pun jadi lebih mudah dilakukan.
Gw biasanya kalap kalau di toko buku, dan ada masanya gw berpuasa karena duit jajan gw musnah buat jajan buku, buku itu mahal sis. Tapi ketika gw makin mengerti value uang dan belajar control diri. Gw mulai merapal kalimat mujarab, “ga boleh beli buku sebelum buku yang sebelumnya gw beli habis dibaca”, jadi gw perlahan mulai sadar mana butuh mana laper mata. Atau untuk kasus belanja online gw menerapkan mantra sakti, “kita lihat seminggu lagi, kalau masih pengen, ya udah beli aja.” Tapi biasanya setelah seminggu gw bahkan lupa, atau kadang udah sold out dan gw mendapati diri gw ga menyesal. Gimana? Mudah bukan ibu-ibu?
Gw rasa Durning jauh hari sudah prediksi bahwa manusia itu semakin peradabannya kaya, justru dia kadang luput dengan masalah seperti pengembangan kota yang didominasi resiko polusi, komunikasi berbasis teknologi yang menekan kehangatan interaksi langsung, dan system perekonomian yang hanya memihak pemilik modal.
Ada sebuah lagu yang juga menyindir kita dalam tema kerakusan manusia dan tetek bengek ke-tidak-pernah-cukup-an kita, lagu milik Placebo yang berjudul Protect From What I Want. Aku ingin kamu memikirkan hal ini sambal mendengarkan lagu yang satu itu.
Selamat berhari minggu! Dan jangan lupa mantra sakti yang harus kamu ingat ketika berbelanja online. 😜
Comments
Post a Comment