Intro: Ada lagu yang akan gw rekomendasikan untuk postingan ini: Family of the Year – Hero. Listen to it 😊
Ada seorang manusia yang saat ini duduk di salah satu perpustakaan di kampus jepang, iya siapa lagi kalau bukan gw, yang sedang menuliskan kata demi kata untuk kamu baca.
Pada suatu ketika, gw sedang memikirkan apakah meme ekspektasi versus realita itu memiliki makna yang lebih dalam dari sekedar hanya guyonan netizen saja? Gw memikirkan itu ketika gw lagi baca paper, damn it! Kenapa otak gw mudah sekali terdistraksi oleh tetek bengek kemanusiaan.
Gw memang sempat propose sama diri sendiri, gimana kalau gw lagi melakukan sesuatu, terus gw mendadak mendapati pertanyaan tentang kehidupan yang ga penting, gw harus ngobrol sama diri gw dan menjawab pertanyaan tersebut sampai ke akarnya.
Kali ini gw akan mencoba mendalami isu “ekspektasi versus realita”.
Menurut gw, untuk memahami hal tersebut ada baiknya kita mengingat masa kecil atau masa-masa dimana kita belum mengecap penderitaan skripsi atau tes terstandardisasi lainnya, saat itu orang-orang berkata “lo bisa jadi apapun yang lo mau. APAPUN.”
Ada hal yang menarik yang gw rasakan, ketika lo menjadi apapun itu…ternyata kepuasan akan hidup tidak datang sepaket bersama dengan itu. Gw bersyukur menyadari ini lebih awal. Ketika kehidupan lo dari luar nampaknya merupakan sumber rasa iri orang lain, tapi kadang dari dalam yang lo rasakan adalah kelelahan (karena life is just a sequence of struggle) dan kekecewaan (karena shit happens).
Di sisi lain, gw juga mengerti bahwa kepuasan hidup itu datang dari hal-hal sederhana, kaya kumpul bersama keluarga atau teman, melakukan hobi ketimbang mengejar pencapaian karir dan memenuhi hasrat intelektual seperti sekolah lagi sampe PhD, wkwk. Eh tapi ini serius, ku pernah baca (tapi lupa dimana) bahwa orang yang bersekolah lebih bahagia dari orang yang tidak bersekolah, tapi orang yang sekolahnya ketinggian tidak lebih bahagia dari orang yang bersekolah hanya sampai S1~~
Hari ini gw sadar bahwa menjadi ambisius sama artinya dengan mengutuk diri sendiri. Dan menjadi realistis adalah jalan pasti untuk menjadi seseorang yang biasa-biasa saja.
Kita juga sering mengabaikan bahwa ada gap antara menjadi apapun dan menjadi biasa saja.
Kadang kita tuh ga bisa membedakan mana garis menjadi ‘apapun’ dan menjadi ‘medioker’. Apapun seringkali dikaitkan dengan kepemilikan akan sertifikat tanah, saham, titel yang selangit, jabatan yang bisa membuat orang tunduk, atau bahkan pengaruh yang bisa ditularkan kepada para fans.
Ada narasi yang terbungkam seolah kalau kita mencapai ini kita akan mendapat perlakuan special, kalau kita begitu kita akan lebih diterima, kalau kita begini kita akan lebih dicintai. Gagasan bahwa sukses dalam pekerjaan sama dengan sukses diri sebagai seorang manusia merupakan ide yang sangat kapitalis, wkwk. Apa bets dah. Kalau ditinjau dari segi seberapa sulit untuk mencapai sebuah cita-cita untuk menjadi apapun itu, mungkin akan lebih bijak bila kita semua tetap menjaga level antusiasme dan passion kita untuk semua hal yang terjadi dalam hidup kita. Realistis saja dalam menjalani kehidupan, kecuali kalau kamu memang ada bakat jenius dan sudah terlihat sejak dini. Wkwk.
Jadi... Ketimbang memberi nasehat bahwa “semua orang tuh bisa jadi apapun yang mereka mau”, mulai dari sekarang kenapa kita tidak menekankan pada pengendalian diri dan kerja keras, yang berkaitan erat dengan kesuksesan itu. Hal lainnya adalah kita juga harus mencari tujuan hidup alternatif, karena ketika kita berambisius untuk menggapai sebuah bintang katakanlah, mayoritas karakter sebuah bintang adalah bersinar, dingin, dan jauh dari jangkauan.
❤
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteteh, ini keren banget sumpah..sugo!!
ReplyDeleteteh dyen bangga lah punya temen kaya teteh