Skip to main content

Publikasi adalah Berhala Baru

Suatu kelas yang aku ambil, Pak Bill, professor tamu yang berasal dari UK mengungkapkan suatu kenyataan muram yang akan mahasiswa hadapi, beliau berujar bahwa “publikasi adalah berhala baru bagi saintis.” 💥

Hal ini tahun lalu dibuktikan melalui kontroversi aturan publikasi karya ilmiah bagi para dosen (Permenristekdikti No. 20 Tahun 2017). Kemudian insentif pun dilempar sebagai umpan untuk membuat jajaran akademisi giat berkarya. Publikasi pun diputuskan sebagai salah satu syarat tunjangan dosen, di beberapa perguruan tinggi lainnya jumlah publikasi mempengaruhi gaji yang masuk rekening dan seberapa uang proyekan masuk bisa menggemukkan dompet.

Awalnya tanggapan saya dalam hati hanya sebatas “apa boleh buat, mungkin memang sudah takdirnya”. Permasalahan ini kemudian tenggelam karena bagi mahasiswa ini urusan pekerjaan yang merupakan tanggung jawab dosen, saat itu saya belum memunculkan empati.

Dosen pembimbing saya saat ini terbilang sangat baik dan bijak dalam memainkan strateginya. Saya tahu beliau sering diundang sebagai pembicara sana-sini, dan juga sibuk mengajar. Tapi beliau tahun lalu membuat semacam tim penelitian yang kemudian menjadi senjatanya dalam perang publikasi. Tim penelitian ini terdiri dari kami yang statusnya masih mahasiswa beliau, hingga leluhur kami (para alumni) pun dilibatkan.

Beliau mulai menjadi tuan rumah untuk acara reuni kecil-kecilan diselingi makan-makan. Tentu tidak ada yang gratis, acara tersebut ditunggangi kepentingan publikasi dan ajang reuni pun menjadi wahana diskusi riset. Ramadhan lalu beliau mengadakan buka puasa bersama, lalu setelahnya mengadakan halal bihalal. Tidakkah ini perjuangan yang hakiki untuk menjalin network untuk kelak dilabeli ‘kolam yang bisa mengembang biakkan karya ilmiah’?

Saya dan sahabat kental saya saat itu sudah tahu betul bahwa upaya untuk publikasi ini memang gila-gilaan, masif dan terstruktur. Kami sering dihadapkan pada dilemma, kadang riset beliau posisinya menjadi lebih penting dari riset kami, maklum kami bisa dikatakan adalah kacung penelitian dan membantah bukanlah suatu pilihan. Kadang juga kami ingin mengeluh tapi keluhan saja tidak akan menyelesaikan persoalan kami. Akhirnya kami mengerjakan riset itu separuh hati dan menelurkan karya yang seringkali prematur.

Saya sering menggerutu “apakah ini yang dinamakan eksploitasi?”, tapi saya menepis pikiran buruk itu dengan gagasan bahwa proses belajar itu memang menyakitkan.

Kemarin saya dan sahabat kental saya ini sempat berdiskusi mengenai masalah berhala baru ini. Sahabat saya bernama Isnaini, nama imutnya Neny. Mari kita gunakan nama supaya kamu perlahan mengetahui sahabatku.

Minggu lalu Neny mengirimu sebuah artikel yang membahas analogi ekspor sawit dengan ekspor karya ilmiah. 
Jadi gini... (gelar tiker....)
Publikasi di Indonesia ini biasanya baru dicap sebagai terobosan luar biasa ketika karya ilmiah tersebut berhasil muncul di jurnal terindeks Scopus, ini kemudian dinamakan sebagai “ekspor karya ilmiah”, sama seperti sawit, kita ekspor sawit mentah, di luar diolah, kemudian kita beli hasil olahannya dengan harga yang lebih mahal.
Publikasi pun sebenarnya masih ilmu mentah, karena biasanya baru sampai tahap uji coba untuk pembuktian sesuatu. Hal ini lalu mendasari gagasan sederhana bahwa kita masih dijajah, lah wong hasil penelitian kita pun kita kasihkan ke luar (bukti Scopus berasal dari Belanda juga memperkeruh keadaaan). Kalian bisa baca artikelnya di sini.

Neny menyatakan bahwa berita ini membuat perspektifnya berubah, dia tidak lagi memandang bahwa menjadi dosen sebagai pilihan yang utama dalam hidupnya. Jika dulu menjadi dosen baginya adalah sebuah passion atau hasrat membuncah yang terngiang dalam hatinya, sekarang semuanya nampak tidak ikhlas dan dipaksakan. Dari situ saya mulai berempati pada profesi dosen.

Saya sendiri sebenarnya tidak merasa bahwa publikasi adalah suatu beban. Masalahnya di sini hanya ada dua. Pertama, kapan Indonesia memiliki tolak ukur yang matang akan sebuah publikasi yang baik, sehingga saintis dan peneliti tidak berbondong-bondong ekspor karya ilmiah (saya tahu kita memiliki standar nasional, tapi Scopus tetap menjadi dewa dan diidolakan, waiiiii waiiii 😱). Kedua, sudah sangat common sense bahwa selayaknya penelitian memang harus berkontribusi untuk Indonesia yang lebih baik. Minimal kalau belum bisa mengubah satu kecamatan, kita patut mengubah diri kita sendiri.

Sekian untuk hari ini.
Aku merekomendasikan lagu satu ini untuk kamu hari ini: Feldberg – You and Me.
Semangat untuk kamu, semoga harimu menyenangkan. 😊

Comments

Popular posts from this blog

Cara Perempuan Jepang Membuang Bekas Pembalut

Selama hidup di Jepang, hal yang paling berkesan untukku adalah tiada hari berlalu tanpa pembelajaran. Bahkan ketika aku di rumah aja ngga ngapa-ngapain, aku tetap dapet pembelajaran baru. Jadi suatu pagi… aku lagi di apartemen aja kan biasa pengangguran laten [ gaya abiesz, bilang aja kosan Pak Ruslan versi fancy wkwk ], dan temen sekosanku yang orang jepang, dia nyimpen bungkus pembalut di kamar mandi. Hmm oiya kita tuh kamar mandinya shared, cuma beda kamar bobo aja. Jadi dia narohnya di salah satu papan yang ada di atas WC duduk gitu, biasanya di papan tersebut kita simpen tissue cadangan atau pengharum ruangan di situ. Oke dia lagi menstruasi. Tapi ini untuk pertama kalinya aku nemuin sampah yang digeletakin gitu aja. Nah, buat kalian yang ngga tau pembungkus pembalut yang mana, ini aku sertakan gambar… karena kebetulan aku lagi rajin dan lagi mens juga. Jadi ini pembalut… Dan ini bungkusnyaaa… yang mana tergeletak di WC tadi. Aku langsung bingung, ih tumben banget kok ngga

Kentut

Saya pernah nonton variety show-nya Negri Gingseng, Hello Counselor . Acaranya membahas problematika, kesulitan, dan penderitaan seseorang. Kind of curhat, but the problem usually soooo silly and weird, you can’t even imagine. Disitu ada host sama penonton. Host berfungsi juga sebagai panelis tanya jawab tentang permasalahan tersebut. Tanya jawabnya dua arah, dari sisi yang punya masalah dan yang jadi biang masalah. Hingga pada satu titik mereka coba memberi solusi. Terus penonton ngejudge itu masalah bukan untuk kemudian voting. Nah yang paling banyak dapet vote , nanti dapet hadiah. Ada satu episode yang menarik yang melibatkan hal paling manusiawi : kentut.

Ada Apa dengan Mas-Mas Jawa?

Kalau kamu adalah seorang perempuan, apa yang terlintas di benak ketika mendengar kata ‘Mas-Mas Jawa’? Apakah seksi, idaman, gagah, karismatik terlintas meski hanya sekilas? Tak dipungkiri lagi mas-mas jawa adalah komoditas utama dalam pencarian jodoh. Cewe-cewe entah kenapa ada aja yang bilang, “pengen deh dapet orang jawa.” Alasannya macem-macem mulai dari yang sekedar impian masa kecil, pengen aja, sampe dapet wangsit dari mbah Jambrong. Saya ngga ngelak, pria jawa memang identi dengan kualitas terbaik. Mungkin Abang, Aa, Uda, Bli, Daeng, atau Bung juga suka merasa daya saing di pasar rendah, apakah dikarenakan passing grade Si Mas-Mas tinggi? Atau karena ada quality control sebelum masuk pasar? Hmm. Mari disimak beberapa hal yang membuat mas jawa menjadi undeniable (ngga bisa ditolak) 1. Killer smile Mungkin tatapannya orang Jerman atau seringainya kumpeni itu bisa membunuh. Tapi untuk seorang mas-mas jawa, yang membunuh itu senyum. Bikin klepek-klepek. Takar

Rethinking about Value

Setelah baca bukunya Matt Haig, aku baru ngeh.. beliau itu pemikirannya sedikit banyak mengurai apa yang muslim harus tahu. Salah satunya adalah tentang VALUE. Selama ini, kupikir value itu konsep yang diciptakan dan dikembangkan manusia untuk menjadi manusia yang diterima secara sosial, atau paling nggak menjadi manusia yang bisa membanggakan seseorang yang dicintainya. Misalnya aja, seseorang dianggap memiliki value ketika ia bertanggung jawab, punya integritas, punya kepribadian yang unik, punya passion yang diperjuangkan, punya ketangguhan dalam menghadapi gempuran masalah, dll dll. Semua itu.... dilakukan demi ayang. HEH bukan. Yaaaa maksudnya semua itu dilakukan demi menjadi manusia yang 'desirable' atau paling nggak 'acceptable' lah yaa.. Makanya orang tuh harus terus berusaha untuk mengenali dirinya, supaya tahu value apa lagi nih yang harusnya ada di dirinya, yaa biar bagusan dikit jadi manusia. Atau value apa yang harus di-achieve biar bisa so emejing like yo