Kemarin aku main ke channel CNN Indonesia, ada liputan
khusus tentang seorang perempuan yang menjadi satpam untuk salah satu bank, dan
ini menjadi viral karena beliau ini cantik dan dulunya pernah bekerja sebagai
model.
Sebenernya aku seneng sama berita kaya gini, karena sifatnya
ringan dan membuatku merasa bahwa perdamaian dunia masih punya harapan untuk
bisa terwujud. #elah
Sebagai seorang perempuan, sebelumnya aku ngga pernah merasa
bahwa ada masalah yang sedang terjadi terkait diriku sebagai perempuan. Mungkin
karena aku saat itu belum terpapar dunia luar dan belum merasakan kejamnya
lidah manusia. Seiring dewasa, aku akhirnya tahu stigma yang melekat pada
perempuan.
Kemudian aku melek dengan informasi dan tahu adanya problem
terkait gender equity (kesetaraan
gender) dan gender equality (keadilan
gender). Mari kita urai perbedaan antara kedua hal tersebut. Kesetaraan gender
dimaknai sebagai kesamaan kondisi dimana perempuan dan laki-laki bisa
memperoleh kesempatan dan hak-haknya untuk berperan dan berpartisipasi di segala
bidang, sedangkan keadilan gender diartikan sebagai proses dan perlakuan yang
adil terhadap perempuan dan laki-laki, sehingga salah satunya tidak merasa
adanya beban ganda, marginalisasi, atau kekerasan.
Entah karena ajaran agama majoritas Indonesia menyerukan
untuk memuliakan perempuan atau ada penanaman nilai bahwa perempuan itu
istimewa (istimewa sama dikekang saat itu mungkin belum jelas definisinya),
tapi istilah-istilah ini nampaknya tidak sebanter isu yang beredar di US atau
Eropa misalnya. Kita pernah punya presiden perempuan, dan kita begitu mudah
menerima bahwa perempuan juga bisa menduduki peran-peran publik, tidak terbatas
hanya domestik saja.
Ada hal yang menarik di Jepang, Jepang ini notabene negara
maju, tetap saja masih menganggap bahwa perempuan adalah warga negara kelas
dua. Terjadinya subordinasi ini merupakan warisan dari tradisi yang sangat
dijaga di Jepang. Kalaupun banyak yang perempuan yang beranjak menjadi warga
kerah biru, itu semua tidak lain dipicu oleh beban finansial.
Salah satu Sensei yang ada di lab gw yang merupakan asisten
professor pernah menyampaikan kegelisahannya. Menjadi perempuan di kalangan
elit akademik bukan seperti jalan-jalan di taman. Meski begitu, hak untuk
memilih dan menentukan nasib tetap harus diperjuangkan.
Hal ini mungkin seperti petunjuk halus bahwa isu
penomorduaan gender masih terjadi. Pertama kalau seseorang merasa bahwa ketika
perempuan cantik berprofesi sebagai satpam merupakan hal ajaib, tentu masih ada
asumsi pembagian peran pekerjaan, mungkin ini menyakiti keadilan gender yang
diharapkan bersama. Kedua ketika seseorang merasa bahwa menjadi perempuan lebih
berat atau menjadi laki-laki lebih berat, bisa jadi merupakan indikasi bahwa
adanya eksploitasi terhadap distribusi kekuasaan atau adanya masalah dalam pemerataan
akses ekonomi.
Bukankah hidup sebaik-baiknya hidup adalah hidup penuh
kepercayaan diri dan tanpa ketakutan apapun. Kalau menjadi perempuan membuat
hidup terasa lebih terbatasi dan membuat rishi, atau membuat merasa tidak nyaman,
ada suatu masalah di masyarakat. Pekerjaan merupakan gambaran sederhana. Tapi hal
ini juga menarik karena ketika aku di Thailand mereka memiliki kondektur bis
seorang perempuan, dan ketika di Jepang, seorang perempuan bekerja sebagai
supir truk.
Terpapar pada budaya asing membuatku memahami bahwa ada
permasalahan tapi sekaligus ada sebuah harapan bahwa banyak orang yang ingin
menyelesaikan masalah tersebut. Perempuan dan pekerjaannya ini lah sesuatu yang
membuatku tahu bahwa sebenarnya perempuan masih selalu punya tempat untuk ruang
pengembangan diri. Karena sisi lembutnya perempuan seringkali dirasa tidak
cocok untuk pekerjaan kasar, padahal seperti kita tahu perempuan dewasa lebih
cepat dan lebih toleran menerima rasa sakit ketimbang pria. Jadi ada baiknya
kita menepis dugaan bahwa perempuan tidak cocok untuk pekerjaan berat lagi. Dan
lainnya adalah perempuan tidak cocok untuk pekerjaan yang penuh logika karena naturalnya
perempuan lebih mengedepankan emosi. Ini juga seharusnya mulai ditepis karena pembuktian
bahwa perempuan pun bisa menjadi saintis, ahli mesin dan bahkan seorang sutradara
film. Kesetaraan dan keadilan ini memang tidak selalu terlihat bentuknya, tapi
semikro sangkaan bahwa “kamu kan perempuan…”, atau “perempuan tuh harusnya…” juga
merupakan bagian dari permasalahan.
Bukankah manusia sudah harus bijak sejak dalam pemikiran?
Mari mulai hari ini kita bisa terinspirasi dari perempuan
dan pekerjaan, karena perempuan sesungguhnya bisa mengerjakan apa saja dan bisa
menjadi apa saja. Dan selama masih ada isu yang terlempar terkait ketidakadilan
gender, selama itu pula para perempuan akan terus membuktikan diri dengan
segala kekuatannya dalam setiap kelembutannya.
-
❤
Comments
Post a Comment