Akan kuceritakan padamu tentang suatu rahasia.
Pada tanggal 28 oktober 2017, aku menulis hal yang sangat
menyedihkan di diary-ku. Saat itu, aku menyangsikan apakah keputusanku untuk
belajar di Jepang itu benar baik adanya. Entah setan macam apa yang merasuki
ku.
Aku merasa sangat jauh dengan segala sesuatu yang bisa
membuatku tersenyum. Aku berpikir bahwa aku telah mengambil resiko yang tidak
kuperhitungkan dengan baik. Aku sudah membayangkan kehidupan akan berjalan
lambat dan muram. Segala keburukan di dunia nampaknya akan segera terjadi
padaku.
Mungkin bagimu terdengar sangat tidak masuk akal bagi orang
sepertiku untuk sampai pada kebodohan tidak beralasan itu. Tapi percayalah, itu
terjadi. Aku ingat, saat itu aku bisa memahami semua lirik Epik High dan Ohyuk
di lagu ‘Home is Far Away’.
Lagunya memiliki makna sederhana, tentang seseorang yang
merasa bahwa impiannya berubah menjadi beban. Kadang ketika mengejar sebuah
cita-cita, seseorang ada kalanya merasa sangat lelah, ingin menyerah dan
berhenti. Kadang kamu meyakinkan dirimu bahwa ke-susah payah-an mengusahakan
cita-citamu adalah resep pasti menuju pendewasaan, tapi nyatanya kamu selalu
dihinggapi keraguan bahwa hidup ini sangat rapuh dan tidak lagi menemukan
alasan untuk bertahan.
Saat-saat seperti itu yang kamu inginkan hanya sebuah tempat
untuk kembali: rumah. Dan apa yang terjadi saat kamu berada jauh dari rumahmu?
Kamu akan merasa bahwa dunia ini bukanlah alam yang cocok untuk kamu tinggali.
Lagu tersebut terus terpatri dalam benakku, dan dengan
kemeranaanku saat itu, aku tahu bahwa aku memilih berada di sini dengan
meninggalkan surga yang selalu kunikmati. Dan yang kumiliki saat itu adalah
tiket satu arah. Aku tidak bisa pulang semudah itu dan aku menyadari bahwa keberanian
bukanlah bawaan lahir, keberanian harus terus dilatih dan dipraktekkan.
Selama seminggu aku selalu berkata hal yang sama, “mari
bertahan untuk hari ini.”
Ada banyak hal yang membuatku seperti itu. Tapi saat itu,
aku belum tahu bahwa ini semua adalah akumulasi emosiku yang tidak pernah aku
rawat.
Beberapa hari sebelumnya, memang ada kejadian yang memancing
kesedihanku dan seperti sebuah banjir bah yang merusak tanggul, pertahanan
mental ku rusak oleh perasaan yang tidak kumengerti.
Selama seminggu aku tidak tertarik melakukan apapun. Lalu,
aku menemukan sisi lain pada diriku, aku berpikir tentang betapa mudahnya
sebuah kematian. Aku berdiri di depan balkonku, melihat ke bawah, dan berkata
pada diriku sendiri, “sangat mudah jika aku ingin meloncat ke bawah dan
mengakhiri semua ini”.
Pikiran tersebut sangat amat menakutkan hingga aku
memutuskan untuk menjauhi balkon dan secepatnya menghubungi teman-temanku.
Tentu saja aku tidak mengatakan apa yang telah terjadi. Aku hanya menyapa
mereka sewajarnya.
Saat itu akhirnya aku memilih salah seorang kakak kelasku yang kurasa tepat untuk kumintai pendapat. Dia bilang aku depresi. Panjang
lebar aku dinasehatinya. Aku membiarkan diriku mencerna apa yang sudah dia
lalui. Ujarnya bahwa depresi sama seperti influenza, bisa menyerang siapa saja dan merupakan penyakit. Hanya saja banyak penderitanya tidak tahu dia sedang sakit sehingga dia tidak mencari obat. Dan rasanya seperti terjebak dalam kemacetan, kamu ingin segera keluar karena semuanya terlalu menyiksa tapi kamu stucked. Dia setidaknya bukti nyata bahwa semuanya akan berakhir dan baik-baik saja.
Lalu aku terkenang salah seorang ibu temanku, aku pernah
bersentuhan hidup dengannya dan mendengar kisah pilunya. Beliau dikecewakan
oleh anak yang menjadi salah satu harapannya. Beliau diperlakukan begitu buruk
bahkan ketika menawarkan kebaikan. Entah kenapa raut wajah sedihnya hari itu
datang padaku.
Aku mencatatnya di diary-ku. Aku bahkan mencatat berapa jam
aku sudah menangis, berapa lama aku sudah diam tanpa memikirkan dan melakukan
apapun. Aku terpenjarakan oleh pikiranku sendiri.
Sebelumnya aku juga pernah merasa seperti ini, tapi hanya
sesaat, dalam hitungan jam. Seburuk apapun permasalahan, jika sudah merasa
sangat terbebani aku akan pergi ke rumah sakit. Di rumah sakit, aku akan
memikirkan apakah kehidupan masih lebih baik dari kematian. Syukur selalu
menjadi senjataku ketika kegelapan hati telah membutakan akal sehat.
Di sini bahkan aku tidak mempunyai keinginan untuk menemukan
alasan bersyukur. Tapi wajah ibu temanku datang lagi, seolah beliau ingin
menularkan semangatnya dan meminjamkan energi positifnya.
Di diary ku keesokan paginya aku mendapati diriku menulis
ini:
“I want to be kind to myself. I shall do whatever I think it’s right. And I already am.”
(btw ini salah satu yang mengejutkan juga, entry diaryku
selama seminggu terakhir itu berbahasa Inggris. Baru saat aku menulis ini, aku
sadar bahwa mungkin aku khawatir pada diriku sendiri melakukan hal yang bodoh)
Kurasa itu adalah episode dalam hidupku yang sangat gelap,
melelahkan dan tanpa alasan tertentu aku sangat menderita. Ckck.
Aku sampai pada pelajaranku bahwa ketika kamu merasa masalah
hidupmu sangat parah, kenyataannya tidaklah selalu seperti itu.
Aku menyadari bahwa kegagalan-kegagalanku di masa lalu
bukanlah indikasi kekalahanku di masa depan.
Aku tahu bahwa orang yang sangat mempedulikanku, akan tetap
mencintaiku, tetap akan memberiku kesempatan dan tetap akan menjadi rumahku
bahkan ketika aku mengecewakannya.
Aku kemudian berterima kasih pada bagian dari diriku yang
tidak aku mengerti karena telah bertindak tidak rasional, aku tahu dari situlah
muncul keberanian dan harapan.
Aku juga mulai berhenti berpikir bahwa pekerjaanku adalah
batu pijakan untuk menuju suatu yang kusebut cita-cita atau impian, dan bila
pun aku kembali berpikir demikian, aku akan menaruh ketertarikan pada batu
pijakan tersebut.
Izinkan aku mengingat apa saja yang telah kualami untuk
sampai di bab kehidupanku yang ini, kurasa pensilku sudah cukup tajam, aku
tidak perlu mengasahnya lagi. Bukankah pensil tumpulpun tetap bisa menggoreskan
sesuatu.
Dan izinkan aku menikmati segala sesuatunya.
Karena aku belajar bahwa kehidupan ini bukanlah tentang
menunggu suatu akhir.
Ini adalah ajakan untuk sebuah permulaan.
Karena aku telah berbagi rahasiaku padamu, aku akan
membiarkanmu menitipkan sebuah rahasia kepadaku.
Ketahuilah, ini adalah ajakan untuk sebuah permulaan.
Comments
Post a Comment