Sudah tahun 2017
lagi. Rasanya aneh sih kalau aku inget-inget beberapa tahun lalu berencana dan
pernah bilang, pokoknya tahun 2016 udah punya pacar permanen biar tahun 2017
kawin. Eh taunya 2016 berlalu menjomblo dan penuh tugas. Sedih memang, tapi
anggap aja ini pencapaian yang berbeda dan Allah SWT ngga sebercanda itu kan
sama takdir manusia. Wkwk belum apa-apa udah curhat aja.. maafkan. Di tahun
2017 ini salah satu resolusinya adalah bisa menulis di blog seminggu sekali, so
here I am writing.
Jujur, udah
kenyang sih daridulu bikin resolusi, tau sendiri kan resolusi tuh rata-rata
gitu-gitu aja, harapan tentang kesehatan, asmara, keuangan dan karir, ya elah
uda kaya kolom zodiak. Trus sedikit banyak mengingatkan kita pada raport anak
SD jaman dulu “Pertahankan
prestasinya” buat yang ranking 1 dan “tingkatkan
lagi ya prestasinya” untuk yang selain dari itu. Tapi setidaknya resolusi bikin aku punya tujuan ketika tiap pagi bangun tidur.
Sebenernya tulisan
ini udah ada di kepala dari tahun lalu. Tulisan ini akan memaparkan secuil
hasil pengamatan aku selama bersekolah di SBM ITB yang dosennya cas-cis-cus
pake bahasa Inggris di kelas. Kan dosennya sudah terekspose sebagai masyarakat
dunia, dan ternyata mulut mereka ga sepenuhnya bisa berubah, meskipun sebagian
beradaptasi dengan sangat indah.
Aku membandingkan
dosen-dosen ini pada kuliah dimana, dan gimana sih level bahasa Inggrisnya.
Ternyata ngga sedikit loh yang pengucapan bahasa inggrisnya beraksen Jawa. Yang
kalau bilang ‘the’ jadi ‘ndeu’, atau pas bilang ‘because’ jadi ‘mbikoz’. Sebut
saja Pak Blekutak_Sawah (nama disamarkan untuk kebaikan bersama) yang kadang
melempar jokes perjodohan sebagai sampel statistika peluang. Damn, he knows
that jomblo dominates the world. Ada hal lucu dari bagaimana seorang Jawa
berbicara. Seolah mulutnya polos dan tidak pernah disentuh dengan kultur
global. Jawa adalah jiwa, dan kalau hilang ia, hilang pulalah aku, seolah-olah
begitu.
Berawal dari
pemikiran kenapa nih orang lama di Jepang tapi masih aja suaranya cempreng dan
selantang preman Batak. Salah satu dosen favorit aku sih, kenapa? Karena dia
bahkan bisa mengubah matematika jadi puisi. Dia ngomongnya cepet banget sampe kadang
ribet sendiri. Tipikal jenius. Mari kita sebut dia LapoLover. Kalau ngomongin
orangnya memang ga kelar-kelar sih. Hmmm. Maka untuk mempermudah pembicaraan
ini, aku mengklasifikasikan mulut-mulut dosenku.. sebelumnya mau minta maaf
dulu, lancang banget yaaaa aku ngejudge mulut mereka. terlepas dari itu, semua ini
hanya diperuntukkan untuk proses perenungan dan pembelajaran semata.
Kenapa bahasa ibu
lebih kuat dari bahasa orang asing? Seberapa kuat bahasa ibu mengakar dalam
diri kita? Dalam kondisi apa bahasa orang asing akan lebih kuat dari bahasa
ibu? Pertanyaan-pertanyaan ini melatarbelakangi apa yang akan aku tulis
selanjutnya.
Pertama mari kita
so tau dan mentabulasi hasil observasi selama 6 bulan ini, bisa dilihat di
tabel berikut.
Istilah
|
Level Bahasa
Asing
|
Level Bahasa
Indonesia
|
Lvl Bahasa
Daerah
|
Contoh
|
Mulut homesick
|
Istimewa dengan
aksen kedaerahan
|
Luar biasa
dengan aksen kedaerahan
|
Tak usah
diragukan
|
Blekutak_Sawah,
LapoLover, DaddyMencariCewe
|
Mulut Apakah Aku
|
Aksen 100%
detected
|
Liar dan
mempesona, free of accent
|
Perlu Diteliti
Lebih Lanjut
|
PanggilAkuBams
|
Mulut Setengah
Pribumi Setengah Kehilangan Jatidiri
|
Advanced walau
kadang kena lethologica
|
Beuh...indah
|
Perlahan
menghilang ditelan ambisi jadi orang kota
|
ProfCintaDamai,
KiniAkuSayangKamu
|
Mulut Universal
|
Lancar kalau
jaringan lagi bagus, kadang patah-patah dan hilang arah
|
Membinasakan
|
Tidak kentara,
disembunyikan dengan bijak
|
SiNdutUchul,
Maniezmanja, KanguruPosesif
|
Mulut Kacang
yang Tak Lupa Kulitnya
|
Keren, sudah
seperti masyarakat internasional
|
Aksen kedaerahan
kental
|
Tak terelakkan lagi
|
Tahubusukenak,
ChargeranRomantis
|
Unidentified
Mouth
|
Native Speaker,
terlahir bule
|
Rapi Banget
Menjunjung Tinggi Nasionalisme
|
Bisa
Sedikit-sedikit walau Mencurigakan
|
SayNoToTeknologi
|
Terus kan saya
nyari penelitian terkait apakah seseorang bisa melupakan bahasa ibunya? Ada
yang bilang bisa, ada yang bilang mustahil. Ada fenomena yang disebut
“first-language attrition”, intinya kadang kita jadi lupa sama bahasa ibu
karena terlalu terbiasa pake bahasa asing, mekanisme ini merupakan bentuk dari
adaptasi kemampuan kita untuk aktif menggunakan bahasa baru. Bahkan psikolog
sampe bilang kalau kita belajar bahasa baru, otak kita akan menghambat akses ke
bahasa ibu kita. Menariknya, justru ketika kita bilingual, fenomena ini
terminimalisir dengan sendirinya. Aku juga ga nemu sih dia meneliti fenomena
sosial tentang bahasa ini kaya gimana, tapi logika dan sense nya emang mudah
dipahami.
Tidak jarang, aku
dan temen-temen lupa bahasa Indonesia dari suatu kata asing. Aku teringat
ketika Kak Nathan tiba-tiba bilang “bahasa Indonesia nya examine apa ya?”,
bukannya belagu atau sombong, tapi ini disinyalir adalah “first-language
attrition” yang telah dijelaskan sebelumnya.
Bertentangan
dengan teori yang mengatakan bahwa manusia bisa melupakan bahasa ibunya, ada
juga teori yang menganggap bahwa cinta pertama tak akan pernah mati, begitupun
dengan bahasa ibu. Teori ini juga menunjukkan bahwa bahasa pertama yang
dipelajari seseorang akan mempengaruhi bagaimana bahasa kedua atau ketiga yang
akan kita pelajari nantinya. Peneliti dari Kanada ini menemukan bahwa anak-anak
yang bisa dua bahasa (bilingual), dan anak-anak yang sempat terpapar bahasa
asingnya ketika kecilnya, akan memproses suara sesuai dengan bahasa pertama
yang dipelajari. Penelitiannya cukup canggih sih, pake MRI segala dan tes
pelafalan gitu.
Ini juga menarik,
kebanyakan orang Indonesia itu bilingual. Bahasa di rumah biasanya bahasa
daerah, sedikit-sedikit ngerti bahasa Indonesia dari TV atau guru di sekolah.
Makanya bahasa Indonesianya pun kena aksen daerah, bahkan ada yang medok
banget. Yang lucu lagi, ketika ngomong bahasa Inggris (yang notabene bahasa
ketiga), bahasa pertama tetep aja melekat. Ckck selama semester kemarin saya
ngeliatin Blekutak_Sawah sama DaddyMencariCewe dengan mata nanar, karena saya
terus aja pengen senyum sama bahasa Inggris aksen daerah mereka. sekan-akan
saya dibawa mudik terus duduk di rumah Mbah sambil nuang teh dan denger suara
ayam mau berkokok. Wuih pokoknya saya ngelantur banget kalau mereka aksennya
udah kenceng banget kerasa, saya sampe nutup mulut saya, takut ketauan lagi
senyum-senyum ga jelas. Bukannya merasa mereka norak atau gimana, tapi lucu.
Pengen nyubit pipinya terus bilang “iki cah lanange sopoooooo
siiihhhhh....elekkkkk men” (translate : ini anak lelakinya siapa sih, jelek
banget)
Wkwkwkkwkkwkwkwkk.
Ada satu pencilan
di tabel di atas yaitu PanggilAkuBams yang justru mengeluarkan aksen bahasa
daerah (bahasa pertama) di bahasa yang ketiga. Beliau melewati bahasa kedua,
jadi beliau ini bahasa Indonesianya ga kentara orang mananya, yang
membingungkan adalah beliau ini pengusung “gw-loe” dalam percakapan, dugaan aku
sih beliau udah ketimpa sama bahasa Betawi. Jadi beliau ini ada 4 bahasa,
urutannya : bahasa Jawa, bahasa Indonesia, bahasa Betawi, baru bahasa Inggris.
Tapi kenapa ya pas ngomong pake bahasa Inggris kena aksen bahasa Jawa (bahasa
pertama). Ini perlu penelitian lebih lanjut. Apakah seseorang yang
multilanguage bisa tiba-tiba memperlihatkan bahasa ibunya di salah satu bahasa
yang ia pelajari.
Oke kali ini,
sampe disitu aja pembahasan mengenai bahasa ibu vs bahasa asing. Semoga
memberikan pencerahan dan memberi manfaat bagi kita. Kadang beberapa orang
ngeliat orang yang punya aksen itu kesannya kampungan, tapi bagi aku mereka itu
imut banget. Serius. Cobain deh jadi orang yang mengerti aksen mereka, dan aku
juga merasa mereka hebat banget ga malu-malu nunjukkin identitasnya yang memang
berasal dari kampung.
Yap, sekian untuk
hari jum’at ini. Mudah-mudahan jum’at depan masih bisa muncul disini. Btw,
bahasa dan struktur aku menulis jadi berubah semenjak sering membaca dan
menulis paper. Efek samping S2 kok gini amat yaa...hahahhahahiks
Comments
Post a Comment