Aku jarang menjumpaimu. Menjadi sesuatu yang besar
mungkin memenjarakanmu.
Suatu ketika, kita bertemu. Percakapan basi macam “sepertinya
hari ini akan hujan” tak pernah terlempar di udara. Karena kamu adalah badai.
Kamu merasa tidak perlu memperjelas ketidaksukaanmu pada topik yang berhubungan
dengan cuaca lain.
Kamu bertanya, “apa yang manusia lakukan selama aku
pergi?”
“Mereka hidup dan bertanya. Ilmuwan terus hidup dan
bertanya ‘bagaimana?’. Filsuf bertanya ‘mengapa?’. Sisanya bertanya ‘apa?’”,
kataku.
“Kamu sendiri bertanya?”
“Ya. Aku bertanya ‘bagaimana jika’. Mungkin aku terlalu
bodoh untuk hidup di alam realitas.”
Aku selalu jadi si bodoh dan kamu dengan egomu selalu
jadi si hebat. Mungkin aku terlalu pecundang untuk mendampingimu.
Setiap kali kamu pergi, ada titik dimana kamu kembali
menanyakan dunia ini padaku, aku tersenyum kecut.
Kamu tidak tahu namaku.
Padahal aku menggemeretakkan atap-atap rumah dan meneriakkan
kesunyianku dalam penantian. Lalu aku membasahi manusia tipis membisikkan gaung
rindu.
Hingga aku kembali pada pertanyaanku, ‘bagaimana jika’.
Comments
Post a Comment