Selain alam gaib, kriminalitas, dan
ibu-ibu bawa mio, satu lagi hal yang menakutkan untuk dijumpai adalah ABG. Cara
mereka berpakaian alay, cara mereka bicara alay, cara mereka berpikir alay, selera
musiknya ppffttt alay banget.. Selalu dan pasti komentar yang muncul ngga
jauh-jauh dari “yaelah anak zaman sekarang gayanya, beda ama zaman gw yang
........... (insert 1001 kebaikan)”
Jadi, manusia itu tidak sadar dikotak-kotakkan
dengan sebuah zaman.
Mungkin itulah yang disebut generasi.
Yang kelahirannya bisa dibilang dalam keadaan yang ngga jauh berbeda sehingga
sifatnya ya rada-rada sama.
Sebuah generasi ini biasanya cirinya
hobi jelek-jelekin generasi berikutnya dan selalu merasa lebih unggul dari
generasi sebelumnya.
Sentimen semacam ini ternyata ada
istilahnya, juvenoia. Juvenoia intinya kaya kekecewaan, atau juga ketakutan
berlebihan terhadap hal-hal yang mempengaruhi anak-anak zaman sekarang.
Saya sendiri masuk kategori generasi
90an atau yang sering disebut Milennials. Memang saya akui garis batas antar
generasi itu blur, kadang tumpang tindih, atau kadang bedanya jelas kentara.Contohnya
aja kaya generasi X, generasi yang masih analog lalu beralih ke digital. Milennials,
generasi yang terlahir semuanya sudah digital. Generasi X sendiri yang kebanyakan
menyesuaikan diri dengan Millenials, ngga lupa sambil ngeluh “yaelah anak zaman
sekarang..”
Saya pernah dicurhatin ama temen, dia seorang
calon ibu. Dia bilang dengan adanya internet dan iphone, atau apalah kemajuan
teknologi, membesarkan seorang anak yang berbudi pekerti itu makin sulit.
Pokoknya iklimnya ngga cocok buat anak-anak tumbuh jadi orang baik.
Mungkin si ibu ini lagi juvenoia..
Kadang kalau dipikir tuh tiap generasi
tentunya adalah perbaikan dari generasi sebelumnya. Dan generasi di masa depan memang
lahir dengan kondisi yang teknologi serba canggih, wajar anaknya juga membawa
karakter psikologis tertentu. Gimanapun buruknya keadaan di masa depan, itu juga
ulah kita-kita yang sekarang.
Inilah saat saya merasa beberapa orang
kadang ga sadar menjadi tua itu bukan ketika umurnya mencapai angka tertentu,
tapi ketika dia ngga berusaha untuk open-minded.
Tertutup pada ide-ide baru membuka
permasalahan baru untuk para Millenials. Mereka kadang jengkel dan bilang,
“kolot banget ih, norak, ngga ngerti ini tuh lagi kekinian..emang orang zaman
dulu tuh ngga akan ngerti deh anak-anak kaya kita”.
Bisa dilihat dari sua sisi. Dari sisi
Millenials dan sisi generasi X.
Kenyataannya, hidup sebagai anak di
generasi Millenials itu sulit. Beban belajar makin berat, sekolah itu level
literasinya terus-terusan dipertanyakan dan ditingkatkan, pergaulan dituntut
untuk nelen semua informasi, biar ngga diem aja pas ngobrol harus banyak
wawasan, tahu ini itu, lifestyle yang dilabelin sehat atau bermanfaat harus
diikutin biar bisa bilang ‘been there done that’.
Dan kalau aja Millenials mau membuka
mata pada generasi X, mereka sedikit banyak juga iri. Kisah cintanya penuh
perjuangan dan kehidupan terasa lebih berarti karena mereka ngga repot sama
yang namanya being fake, hatinya pada
lempeng ngga banyak neko-neko, trus juga penuh kebijaksanaan secara kan udah
makan asam garam pait manis kehidupan. Makanya ngga bisa diremehkan gitu aja.
Broh, tiap generasi
punya masalahnya sendiri. makanya generasi yang masih pada hidup harus rukun
berdampingan. Millenials ngga boleh merasa lebih baik dari gen X, dan begitupun
gen X ga boleh merasa superior. Keduanya sama-sama belajar, karena keduanya
juga akan punah tergantikan generasi baru berikutnya.
Semoga tak ada juvenoia di antara
kita.
Comments
Post a Comment