Setiap
akhir pekan, di kedai kopi, kaffee, depan Circle K, salah satu percakapan
berikut ini begitu normalnya terlempar :
“Eh
bikin startup yuk.”
“Haduh
males banget gw jadi pegawai, pengen punya usaha sendiri nih.”
“Sukses
itu kalau pergi ke kantor paling akhir, tapi gaji paling gede.”
“Yang
paling sukses tuh yang ngga usah ngantor lah, cukup pantau saham dari sofa di
villa.”
Statement
di atas mungkin ngga asing bagi generasi saya yang berusia 20 tahunan ke atas. Tidak
diperlukan riset kuantitatif yang memadai untuk bisa menggeneralisasi kenyataan
kalau memang startup sedang jadi anak emas tumpuan ekonomi.
Tipically,
dengan banyaknya pemuda membangun kerajaan startup, event startup market juga
jadi fenomena tersendiri. Ada market museum, the brightspot, Tech In Asia.
Percaya ngga percaya, Indonesia jadi peringkat 3 besar startup di dunia.
Pelaku
bisnis dewasa ini didominasi oleh startup pemuda-pemudi. Banyak yang berkembang
pesat, sangat sukses, ada juga yang biasa saja, ngga sedikit juga yang
bangkrut, lalu ganti bisnis dan merangkak naik.
Pasar
terus dituntut untuk berinovasi. And when creativity meets with capital fund
and marketing skill, there you go. Semua bisnis yang lahir akan promosi like we are the best you can get atau we are different.
Jujur
saya salut dengan semangat mereka mengembangkan diri sebagai pebisnis. Mereka membuka
kesempatan pekerjaan, mendorong pergerakan kewirausahaan, bukan ngga mungkin
kalau mereka adalah pemegang kendali kekuatan perekonomian Indonesia.
Membicarakan
tren bisnis, saya ingat dengan serial Silicon Valley dari HBO yang saya tonton
beberapa bulan lalu. Serial ini tentang beberapa pemuda, Richard Hendricks dkk, yang membuat app musik bernama
Pied Piper. App ini bisa menganalisis apakah suatu musik itu plagiat sama musik
yang telah diciptakan atau ngga.
Poster Silicon Valley |
Menariknya
adalah ketika app ini digodok untuk jadi startup business. Berbagai masalah
mulai muncul. Mulai dari ada perusahaan besar (Hooli) yang ingin mengakuisisi
ide app tersebut, proses cari nama app, cekcok pembagian saham di antara teman-teman
programer dan seorang pemilik ‘inkubator’ app-nya(padahal saat itu produk belum
dilaunch ke pasar, produknya memang marketable
wajar jadi sengketa), hingga kebutuhan mereka untuk merekrut ahli management.
Yap
memang, menciptakan app atau dalam
hal ini produk, berbeda dengan menjalankan bisnis. Karena produk bukanlah
bisnis.
Si
Richard Hendricks dkk selaku founder Pied Piper jelas kewalahan ketika harus
dihadapkan pada gimana cara menjual produk, menghitung cash flow, mengatur sistem produksi, dan menjaga supaya kualitas
produk ngga turun begitu sampe pasar.
Buat
para programer atau siapun yang ingin terjun ke dunia bisnis saya rekomendasikan
untuk nonton serial ini. Anggap aja sebagai mentoringan.
Beberapa
orang mungkin bisa jadi angkuh, milih resign kerja kantor, dan bilang “saya bisa
bikin app, mending dibisnisin aja deh.” Weits gegabah! Kalau ngga tahu
managenya, ujungnya nyesel, bisnisnya bisa gagal dan bahkan harus lurking cari
kerja lagi.
Semua
ada ilmunya. Kemampuan membuat sesuatu out of nothing berbeda dengan kemampuan
running a company. Dalam bisnis kamu harus memikirkan aspek strategi bisnis,
manajemen keuangan, manajeman pemasaran, manajemen SDM, manajemen
operasionalnya.
Tren
bisnis ini bisa dibilang latah dengan dalih ‘passion gw nih’. Percaya deh,
passion changes over the years.
Mostly,
we are passionate about things because we think it’s cool, fun or sexy. Then I
must say, you actually don’t know much about it. Later, you understand it ain’t
fun and full of regret.
That’s
okay, you will be fine. Keep going.
Remember
that whatever it is, there will ALWAYS be something you can learn from it. And
you are really dumb if you say “there is nothing to learn here.”
Listen,
every profession has its difficulties. Nobody say start your own business is
easy. But it's definitely worth doing. And if you fail, so what? Pick yourself
up and start all over again.
Selamat
berbisnis, pemuda-pemudi! Semoga bukan latah!
Comments
Post a Comment