Pernah ngga kepikiran gimana jadinya sekolahan-sekolahan di tahun 2030 atau lebih jauh lagi mungkin 2050 (tahun segitu anak kelahiran 1992 udah mulai menderita encok dan asam urat)? Apakah di masa depan sekolah akan sepenuhnya berbeda dengan sekolah saat ini?
Berawal
dari pemikiran gimana evolusi sebuah sekolah, ruang kelas, dan kurikulum dari
saya SD, tulisan ini ingin membahas gimana sih sekolahan di masa depan. Pas
saya SD sampe saya kuliah memang tidak banyak perubahan selain jadi banyak tech based learning, tapi hal tersebut
cukup signifikan. Buktinya nih masih ada saja orang tua yang ngga bisa menjaga pace nya dan selalu bilang “Internet
mulu nih anak.” Yakali zaman sekarang ngga mungkin bikin kliping dari koran.
Penting ya?
Begini kawan, kalau sekiranya kamu anak generasi 90an, di tahun 2030 tidak bisa
dipungkiri lagi kamu akan melakukan investasi terpanjang dan paling beresiko
dalam hidupmu, yap membesarkan anak. Tahun itu kalau punya anak pasti usianya
belasan tahun.
Mari
dirunut.
Tahun 2030
Dari tahun ke tahun, keluhan degradasi moral siswa
selalu ada dan kelak akan mencapai puncaknya. Mencari kambing hitam, semuanya
ikut kecipratan. Kurikulumnya kacau lah, gurunya ngga kompeten lah, orangtuanya
so sibuk tak bertanggungjawab lah, sampai pada lingkungannya yang kaya Suzuran
lah. Sekarang kalau seluruhnya dianggap berantakan, apa yang tersisa dari kita?
Apa yang harus dilakukan nih?
Jawabannya : Selamat datang di
era kehancuran. Sekolahan-sekolahan old-fashion
yang ngajar pake kapur doang sepenuhnya sudah tidak ada lagi, dan pastinya akan
ada kurikulum baru yang kehadirannya justru bikin semuanya makin tidak
terstruktur. Terus kehancuran ini lebih baik ngga dari masa keretakan-keretakan
yang sudah terjadi dewasa ini?
Sejak lama, para ahli pendidikan
tuh sudah berpikir gimana sih improve keadaan
kelas, supaya kualitasnya makin mumpuni, tapi sekarang apa yang kita peroleh?
Anak-anak yang lebih nyeleneh (itu udah sopan banget). Contoh kasusnya saya
pernah ditanya sama seorang murid : “Bu, kalau ciuman nafasnya gimana sih?”
atau ada juga murid yang bercerita pas SD dia pernah ngasih nafas buatan ke
ikan karena dia nyangka ikannya bakal mati karena ngga bisa bernafas dengan
baik di darat.
Poin pentingnya adalah ruang kelas sudah mati, seperti
menjadi kuburan. Di masa depan tidak akan ada lagi ruang kelas karena ruang
kelas sudah dimusnahkan. Tentunya, saat ini pun kita sudah mulai lihat
bagaimana ruang kelas digantikan dengan alam, asrama, dan camp-camp.
Pembelajaran yang sebenarnya terjadi ketika kita
justru tidak mengharapkannya, ketika kita bahkan tidak berusaha untuk
melakukannya. Apa sih kebalikan dari sekolah? Yap, libur. Kebayang ngga kalau
setiap hari kita bersekolah dengan menggunakan suasana hari libur? Bata-bata dari
ruang kelas yang udah diruntuhin bisa dibangun ulang untuk main
benteng-bentengan. Papan-papan jadi sebuah taman bermain, sebuah perosotan
penuh fantasi. Besi-besi bisa diloak ke orang Madura tuker tambah jadi ayunan.
Kaya bukan sekolahan ya? Yap, memang itu konsepnya, sekolah yang kaya bukan
sekolahan. Kalau kamu pikir ngga ada yang belajar di lingkungan kaya begini.
Sekarang aku tanya, emangnya “belajar” itu apa? Apakah bisa disebut “belajar”
ketika sebuah ayunan mempresentasikan pengajaran titik tumpu, beban dan kuasa
atau ketika skatepark menjadi contoh
dalam mengajarkan momentum, gaya gesek, atau kecepatan sudut? Apakah termasuk
kategori “edukatif” kalau ada reka bentuk bioma padang pasir di sebuah kolam
pasir sederhana? Apakah masih dikatakan sebuah “sekolah” kalau pelajaran
keseniannya dengan mencorat-coret tembok dengan grafiti dan mural? Seorang guru
ngga bisa ngasih perhatian personal ke sejumlah siswanya secara bersamaan, tapi
gimana jadinya kalau kita menempatkan gurunya di sebuah korsel yang berputar
dengan siswa yang duduk mengelilinginya?
Ya gambaran kasarnya mungkin begini :
Illustrations by Scott Teplin
|
Ngga cukup hanya dengan berpikir
di luar kotak (thinking outside the box),
kita juga harus berpikir di luar bangunannya.
Ngga praktis? Idealis? Naif?
Memang. Kita semua toh pada kenyataanya kita harus melupakan semua ilmu
pengetahuan yang telah kita miliki supaya kita bisa terus bertanya dan belajar.
Ruangan kelasnya hancur tapi masa depan baru saja dimulai.
Tahun 2040
Saat ini usia saya 38 tahun,
anak saya mungkin SMP atau SMA. Pastinya semua orang tua berhati-hati dengan
masa depan anaknya. Para peneliti memprediksi, bahwa kebijakan pendidikan yang
salah jalan akan melahirkan anak-anak yang cuek, berbahaya, dan depresif. Pada
masa itu teknologi akan berkembang sangat canggih. Permainan sunda manda sudah
tidak lagi menjadi sumber akurat untuk mempelajari tabel periodik. Bongkar
pasang molymod dari terong tidak begitu sama dengan interaksi molekul. Pada
saat ini nanti kita akan mengetahuinya, kita akan mengalaminya.
Siswa-siswa yang tidak cocok
dengan pergantian kurikulum, merasa menjadi korban yang terlukai secara
emosional dan fisik. Lebih seringnya fisik. Akan tiba masanya dimana bermain
menjadi penuh resiko. Pasti ada aja anak yang abis jajan di kantin, makannya di
atas ayunan, terus ada yang dorong dari belakang. Atau mereka akan mencoba
menjadikan kolam ikan sebagai tangki pengamatan untuk predator perairan.
Di tahun 2039, seorang anak
bernama Pascal Sebastian kelas 3 SD di Bogor iseng manjat menara astronomi,
belum sampe atas, si Pascal jiper pas lihat ke bawah. Akhirnya Pak Farrel
telpon orangtua dan yang berwajib untuk minta tolong. Basarnas dikerahkan.
Setelah 5 jam yang menegangkan, Pascal akhirnya bisa diselamatkan dan
selanjutnya menjalani rehabilitasi trauma. Orang tua Pascal protes atas
kelalaian pihak sekolah, membawa perkara ini sampai pada Komnas Perlindungan
Anak. Penuntutan hukum ini sampai di meja hijau, dan mahkamah agung memutuskan
untuk membubarkan sekolah berbasis taman bermain.
Amanah cerita tersebut adalah
anak-anak kita terlalu berharga untuk dimainkan. Kita harus menjaganya dan
memupuk perkembangan tubuhnya. Keamanan pokoknya nomor satu, yang lainnya ngga
penting.
Dengan timbunan informasi yang
komprehensif, dikombinasikan dengan proses yang terkontrol oleh sistem, kita
bisa memastikan secara presisi bahwa outcomenya
optimal. Perkembangan intelektual dan jasmani, secara fundamental jadi masalah
input dan output, untuk mencapai target yang diharapkan kita harus
mengkalibrasi bahan mentahnya, data yang masuk, apakah data tersebut
membutuhkan nutrisi dalam bentuk sains atau makanan sehat.
Lalu masa depan ruang kelas
menjadi lebih kompleks lagi : kantin.
Perkembangan mental adalah
proses biologis. Tiga langkah untuk dunia pendidikan nampaknya mangambil ide
dari proses pabrikasi - input, proses,
output - diterjemahkan
sebagai konsumsi, penyerapan, kemudian pertumbuhan.
Ketiga langkah tersebut
dilakukan dalam lingkungan tertutup, dengan iklim pedagogis yang kental,
melalui ekosistem yang menawarkan scanner biologis untuk mendeteksi informasi
nutrisi seorang siswa, dan menentukan apa yang dibutuhkannya. Makanan sehat yang
ideal kemudian akan diracik oleh robot-robot dalam bentuk kapsul, jus, jelly,
apapun mintanya, tinggal pilih sesuai selera.
Ngga suka sayur? Tenang, ada
dalam bentuk permen. Alergi sama aljabar? Santai, tersedia dalam kapsul yang
kenyal jadi bisa dikunyah. Alergi sama semuanya? Ya ngga usah khawatir, ada
jelly untuk segala sesuatu yang kamu ngga jago. Setiap siswa akan mendapatkan
asesmen tersendiri yang benar-benar cermat.
Tentu saja beberapa faksi di
masyarakat akan berdemo karena merasa makanan telah kehilangan sisi
fungsionalnya. Semenjak itu, departemen pendidikan bersama dengan departemen
pertanian mewajibkan tiap sekolah punya bar yang isinya pepohonan penghasil
buah dan daging. Sekolah juga harus menyediakan mata pelajaran yang bersifat
agrikultural. (Btw di Tegal saat ini sudah ada mulok namanya Pertiwi
kepanjangan dari Pertanian, Industri dan Pariwisata mirip konsepnya sama
agrikultural yang dijelaskan)
Tahun ini orang-orang percaya
bahwa dari tubuh yang sehat akan tercipta pula pikiran yang sehat. Tujuan
pembelajaran individual akan dipaparkan melalui database yang bisa diakses internet, kurikulum akan dibuat untuk
perorangan. Pemerintah dan orangtua terus mengawasi nutrisi anaknya, diam-diam.
Pembelajaran dibuat konstan dan seolah tak teramati. Pendidikan anak kita
terlalu penting untuk dilewatkan sedikit saja.
Tahun 2050
Pada tahun segini, anak saya pun
mungkin sudah punya anak. Dia akan lebih waspada ketimbang saya dulu setelah
kesalahan sistem yang dia rasakan pada masanya bersekolah.
Keamanan? Kendali kasat mata?
Outcome yang optimal? Yap, kita selalu akan mentertawakan kesalahan masa lalu.
Hasrat idealis itu untuk beberapa anak mungkin berhasil, dan sebagian lainnya
berpikir bahwa sistem ini sangat tidak nyaman. Mereka merasa seperti binatang
ternak dalam sebuah sistem manajerial perusahaan ternak berlabel sekolahan.
Sampai pada suatu ketika di 2040
ada sebuah komunitas di Malang yang menggelar konfrensi meja segi banyak.
Mereka mengusung kebebasan dari sistem. Mereka menggelar panggungnya sendiri,
dan memulai menggalang suara.
Anak IPA membahas bagaimana
secara genetis mereka diubah untuk menjadi apa yang bukan dirinya. Anak IPS
menguraikan bagaimana pranata sosial menjadi luluh lantak dengan kealfaan skill
survival sebagai manusia bebas. Anak-anak obesitas yang masih gagal dalam
pembelajarannya, merasa bahwa dibesarkan dalam kurikulum penuh perlindungan
nutrisi tidak membuatnya menjadi lebih sehat. Karena hidup di kantin yang penuh
proteksi, selama ini beberapa anak yang kena lempar bola kertas selalu
luka-luka dan memar. Beberapa anak yang dikatain sama seorang preman jalanan
malah ada yang asma, ada juga yang kena panic disorder, kasus yang lebih parah
menunjukkan bahwa cacian bisa mengakibatkan organ tidak berkerja maksimal dan
berujung kematian. Segera setelah sekolah penuh anak yang membangkang dan
kolaps, negara kita pun akan ikut kolaps.
Yang tertinggal hanya
manusia-manusia yang masih punya survive skill. Mereka mencari rumah dan
makanan dengan merebutnya. Anak-anak di jalanan akan berusaha menyelamatkan bus
sekolahnya dari serbuan begal di pagi hari. Semua orang yang pernah mengecap
pendidikan berkumpul saling mengawal satu sama lain, sebagian besar dari mereka
kaya akan pengalaman bekerja di bidang pertanian. Mereka mengumpulkan truk-truk
berisi hewan ternak, kasur lipat, yang penting bertahan hidup dulu. Selanjutnya
mereka mulai berpikir bagaimana merakit senjata, bagaimana cara untuk menggali
sumur, lalu bagaimana tambang dan perminyakan akan diolah.
Ketapel yang dimiliki pada tahun
2055 akan menjadi sumber pembelajaran fisika. Makanan yang diawetkan menjadi
sarana belajar kimia. Dan kalau pada masa
survival ini mereka bisa belajar yang lainnya? Lucky!
Sesungguhnya selalu ada hikmah
yang bisa diambil, tidak semua yang buruk selalu tidak baik. Bisa saja ini
adalah berkah yang sedang menyamar dalam jubah derita. Bukankah sistem
pendidikan pun punya rodanya sendiri?
Pada masa itu, saintis akan
berusaha menyaring limbah dan menemukan Bahan Pengganti BBM (BPBBM), kalaupun
tidak berhasil kita bisa membeli tepuk tangan untuk pemikiran kreatifnya. Yap
kreativitas menjadi komoditi prima setelah sebelumnya semua pengetahuan seperti
buah bisa dimakan. Gerombolan zombie bisa jadi judul tesis mahasiswa psikologi
yang berbicara mengenai kebingungan etika dan sebagai bahan paper analisis
kehancuran peran internalisasi kepribadian bagi sosiolog. Ahli nano pensiunan
teknisi kapal ruang angkasa jadi simbol kebanggan bagi kaum survival.
Sayangnya karena kegagalan
sistem pedagogis di dunia pendidikan beberapa dekade ini, tidak ada satupun
yang benar-benar tahu untuk bertahan hidup di dunia ini, apalagi untuk mengacungkan
senjata. Kincir angin sebagai salah satu alternatif energi yang mereka miliki
rusak dua hari lalu. Dan tak ada seorang pun yang sanggup untuk meneruskan
hidup tanpa skill bertahan. Akhirnya mereka yang tersisa itu berusaha terus
bergerak mencari apapun yang tersisa.
Di detik terakhirnya, manusia
terakhir ini meminta maaf pada Tuhan atas nama kemanusiaan yang telah gagal.
Semoga kematiannya cepat dan tidak menyakitkan.
Apakah kita sudah mengambil
pelajaran?
Comments
Post a Comment