Pada beberapa orang masalahnya bukan lagi bertemu dan menemukan. Masalahnya terletak pada bagaimana cara tahu kalau kita sudah bertemu dan menemukan.
Saya mempunyai teman wanita yang berusia 50 tahun. Seorang guru kimia asal Banjar yang saya hormati karena sifatnya sangat terbuka dan menyenangkan. Sebagai teman, dia bercerita bahwa dirinya terbilang terlambat menikah, yakni pada usia 40 tahun. Sebelum saya bertanya kenapa, dia sudah menjelaskan kalau dia sedikit selektif, karena sebelumnya pernah dikhianati. Dia percaya kalau di luar sana ada ‘the one’. Dia terkadang melihat seorang pria melewatinya di jalan, dan terpikir olehnya “bagaimana kalau orang ini adalah the one, hanya saja saya tidak menyadarinya?”
Saya bisa merasakan apa yang dirasakan beliau ini dengan membayangkan tahun-tahun yang harus dilaluinya untuk datang ke acara undangan pernikahan teman, syukuran kelahiran anak pertama temannya, lebaran dan pembicaraan bersama saudara yang selalu ingin tahu.
Beliau akhirnya melepas masa singlenya dengan pria yang dikenalkan sahabatnya. Pria itu lebih muda darinya, punya kebun pohon enau.
Beliau bilang penantian itu ngga ada yang sia-sia, selama apapun itu. Saat ini, mereka berdua belum dikaruniai buah hati, dan positifnya mereka berpikir ini merupakan waktu yang diberikan Tuhan untuk melunasi semua kesepian yang mereka tabung sebelum saling menemukan.
Berbagai teori membahas apakah ‘the one’ itu seharusnya dicari atau akan datang sendiri, dan rasanya ngga ada yang mampu membantu mengatasi kegelisahan wanita yang masih tidak tahu siapa ‘the one’nya.
Jujur aja, saya rasa orang yang bertemu the one pada usia relatif muda itu sangat beruntung. Kamu mendengar ini dari seseorang yang menginjak usia dimana teman-temannya mulai upload foto anak pertama di sosmed. Percayalah, ada masa dimana saya juga merasa beruntung belum mempunyai anak dan masih bisa mendapatkan semua kesenangan personal karena tidak memiliki seseorang yang saya prioritaskan di atas saya.
Mungkin itulah mengapa the one tak kunjung muncul. Karena saya masih egois.
Alasan lainnya sederhana, sama dengan teman dari Banjar yang saya ceritakan, selektif. Seseorang yang mempunyai pengalaman relationship mempunyai ekspektasi yang mereka setting sebagai standar.
Beberapa sentimen berujar “standar lo ketinggian sih, makanya ngga dapet-dapet.” Orang-orang seperti inilah yang seringkali ngga mikirin dengan matang tentang gagasan the one dan asal nikah, bagi mereka yang penting sudah memenuhi kewajiban sosial dan harapan masyarakat untuk terus melestarikan umat manusia.
Tidak ada yang salah dengan menetapkan standar setinggi apapun, disebut ketinggian apabila kita sendiri tidak sesuai dengan standar yang kita buat. Yes, you should balance your expectation.
Yang dibutuhkan oleh orang-orang yang punya standar adalah tangga sosial untuk mengupdate lingkaran pergaulannya guna menaikkan derajat sosialnya sehingga bisa bertemu dengan orang-orang yang nilainya di batas bahkan di atas standar.
Pada suatu waktu, Ibu saya pernah bertanya pada , “Lelaki seperti apa sih yang kamu cari?”
“Yang terbaik.”
“Jangan banyak pilih-pilih, tapi juga jangan asal pilih. Dan kalau kamu jadi orang yang pemilih gini, pastikan sebelumnya kalau kamu memang layak dipilih.”, ujar Ibu saya.
Yup, kalau mau dilirik market, kamu harus membuat dirimu marketable.
Dan saya masih sibuk sendiri, mengejar pengalaman, dan menjawab pertanyaan tentang jati diri.
Saya pikir, saya belum siap masuk pasar. Saya belum bisa teriak “I’m finally ready to meet my soul mate.”
Terus kapan siapnya?
Hmm, banyak yang bilang “Kalau ngga disiap-siapin mah kapan siapnya?”
Jadi gini.. pokoknya kalau nanti ketemu the one, tiba-tiba kita akan siap.
Kalau sudah datang waktunya kita siap, keegoisan, sifat pemilih, dan sibuk sendiri akan kita singkirkan. Semuanya akan nampak ngga berguna karena ngabisin waktu.
Apabila kita telah menemukan the one, kita akan berpikir “Saya tidak yakin apakah saya bisa menghabiskan sisa hidup saya tanpa bangun disisinya?”, tapi kemudian kita berpikir, “Mungkin saya bisa hidup tanpa bangun di sisinya, tapi saya tidak mau kehidupan yang seperti itu.”
Saya pernah berdiskusi dengan teman saya dan kita sepakat bahwa ada tiga elemen penting yang harus ada dalam the one :
1. Secara fisik, sesuai dengan selera
2. Sahabat yang baik
3. Membawa kita menjadi pribadi yang lebih baik
Seseorang bisa saja tampan dan bersahabat, tapi kalau dia malah bikin kamu ngga berkembang, say NO, hilang elemen nomor 3.
Kamu bisa saja berteman dekat dengan seseorang, tapi secara fisik kamu bisa aja ngga suka, hilang nomor 1.
Atau kamu mungkin tertarik dengannya, dan kamu naksir berat, tapi kalau dia ngga menghargai kamu, kamu juga ngga bisa percaya sama dia, it’s also a big no, ngga terpenuhi nomor 2.
Pada beberapa kasus mungkin kita punya seseorang yang memenuhi tiga komponen, tapi kamu tetap menginginkan orang lain. But let’s check it again, apakah orang yang kamu inginkan punya ketiga komponen itu.
So, when you meet the person whom you trust as a best friend, with whom you have passion and are your best self, and all those elements are present or seem to be present from their perspective too. That’s when you know, you’ve met your one.
Comments
Post a Comment