Bermula dari H. G. Wells dan Marty McFly,
kemudian diwariskan pada Doctor Who yang mengendarai Tardis, konsep time traveller menjadi akar cerita beberapa
fiksi sains yang difavoritkan banyak kalangan. Sains modern memastikan kalau time travel merupakan hal yang mungkin.
Tentunya tidak sesederhana dan seindah yang cerita fiksi sains kisahkan.
Salah satu rintangan terbesar dari pelbagai
skenario time travel adalah Paradoks Grandfather. Setelah mekanika kuantum melanglang buana dikenalkan
konsep baru yaitu Multiverse. Singkatnya
untuk setiap keputusan berbeda yang kita pilih, akan tercipta satu semesta
baru. Yap, kita sudah mengenalnya di serial The Flash. Banyak peran-peran dari Multiverse yang melakukan time travel bermunculan, beberapa untuk
berkawan dan beberapa menjadi musuh.
Katakanlah,
kamu bisa kembali ke masa lalu dan berhasil merombak ‘sejarah’. Puas dengan
hasilnya, kamu kembali ke kokpit time
machine dan meluncur pulang ke rumah. Adakah perubahan berarti yang terjadi
di masa kini?
Ngga. Ngga
ada.
Perombakan
masa lalu yang kamu lakukan akan menciptakan suatu diversi dalam aliran waktu.
Kamu telah menciptakan parallel universe
lain, dimana ‘kamu-masa-depan’ di semesta yang itu mendapatkan suatu keuntungan
dari petualangan time travelmu.
Masalah terbesar
yang dihadapi para time travelers
bukanlah hanya sebatas menciptakan mesin waktu yang bisa menjelajah ke waktu
yang sangat spesifik. Mereka juga harus mengatasi masalah probabilitas.
Bagaimana caranya agar mesin waktu tersebut bisa membawa mereka kembali pada
semesta yang tepat, dari triliunan kemungkinan semesta paralel.
Oh ya, Buzzfeed
meluncurkan video perdebatan antara kubu yang ingin menjelajah masa depan atau
balik ke masa lalu. Aku masuk di kubu yang menjelajah ke masa depan. Seperti
yang kubu ‘masa depan’ kemukakan, kamu time
travel ke masa depan dengan tujuan kamu bawa pulang penemuan tercanggih di
tahun tersebut, lalu mengembangkannya di zaman sekarang. Siapa tahu obat kanker
yang efektif sudah ditemukan di masa mendatang dan umur harapan hidup umat
manusia lebih panjang. Atau mungkinkah ternyata masa depan layaknya sebuah
Disney Land, distopian populisme yang sangat amazing.
Time travel ke
masa depan artinya mengikuti paket liburan yang di dalamnya terdapat kejutan
dan mungkin kesedihan. You know lah, ketika generasi yang lebih tua selalu
bilang, “generasi sekarang mah beda banget, [ucapkan semua sisi negatif dari
kemajuan teknologi].” Maybe that’s what will happened to us.
Kalau kamu mau membawa ‘oleh-oleh’, tentunya kamu juga harus
mahir dalam ilmunya, tidak bisa begitu saja pulang ke masa lalu. Nanti bisa
berakhir seperti di film God Must Be
Crazy, ketika ada ponsel jatuh mereka tidak mengerti apapun dan
kebingungan.
Kalau suatu saat mesin waktu sudah tercipta, akankah
itu menjadi suatu kesia-siaan belaka? Atau kita justru akan menghancurkan diri
kita sendiri karena bisa mengintip garis hidup kita? Menghancurkan masa kini
karena terlalu sibuk bepergian melampaui nalar dan menjadi gila karenanya?
Comments
Post a Comment