Sebelum
menikah dengan ibuku, ayahku memilih merantau, mencari penghasilan lebih
ketimbang sekedar membantu mengurusi sawah dan kebun milik orang tua. Masa muda
memang selalu dipenuhi ambisi sialan yang menakjubkan. Ayahku mengontrak di
salah satu kamar kecil bersama dengan beberapa bujangan dan suami muda lainnya.
Seharian dihabiskan untuk menjaja segala macam kue kering buatan bos-bos
pemilik modal usaha. Itulah yang kau kenal sebagai konsep ‘reseller’ di zaman modern ini. Sepak terjang sebagai reseller kue kelak membuat ayahku hapal
jenis-jenis kue dan sedikit banyak tahu cara pembuatannya. Proses rantaunya
juga yang membawa ingatan masa kecilku tentang kue tambang, semprong, kue
satru, bakpia isi kacang hijau, kuping gajah, kue bulan kacang hitam, dan sagon
kelapa yang dibawakan ayahku ketika pulang kampung. Sagon kelapa hingga kini
bahkan menjadi salah satu panganan top
listku, kuletakkan kedudukannya lebih tinggi ketimbang popcorn dan Pocky.
Aku tidak pernah tinggal di Krajan. Aku tahu cerita ini dari bibiku yang gemar bercerita, dan dari pamanku yang ketika diam kutanyai hal tak berarti. Mereka bilang ayahku berjualan dan pulang membawa uang untuk Mbah Putri dan jajanan untuk adik-adiknya. Aku bisa membayangkannya hanya dengan mendengar ceritanya. Oleh Mbahku uang itu dibelikannya emas. Bukan main idenya. Mbahku yang tidak pernah kuliah ekonomi itu ternyata sadar investasi. Kata bibiku, ayahku setiap pulang mengajak adik-adiknya makan sate. Tempat makan sate itu simpel saja sebutannya : Sate Kasrun. Kasrun merupakan tukang sate kambing dan sapi kenamaan. Sate kambing favorit ayahku. Sate kambing layaknya barang mewah kala itu, semewah daging sapi Hanwoo Korea yang untuk membelinya kau harus sanggup makan nasi kecap selama tujuh hari setelahnya. Pria memang loyal, kalau mengeluarkan uang tak segan-segan. Dapat kusimpulkan dari cerita bibiku itu, kalau kau tanya tempat makan paling mahal dan enak, pria pastilah tahu jawabannya, tapi kalau kau tanya tempat makan paling murah terserah enak atau tidak, wanitalah yang tahu jawabannya.
Kau
tahu apa yang unik dari daerah Bumiayu, beli emas gratis barang pecah belah
macam gelas, piring, bahkan asbak beling. Aku tidak mengerti apa hubungannya
emas dengan gelas, apakah ini strategi pemasaran atau gelas dan piring kaca
pada zamannya dijadikan simbol status kemapanan seseorang. Tiap aku pulang ke
Cinanas, gelas-gelas itu masih ada dan kabarnya itu gelas sisa-sisa peninggalan
dari pembelian emas hasil pendapatan ayahku. Sampai akhirnya, pada suatu waktu
di masa depan, investasi emas Mbah itu yang mengakhiri masa lajang ayahku. Emas
itu sebagian dijual untuk biaya pernikahan dan sebagian dijadikan mahar.
Selepas
kenyang berdagang, dengan uang yang dijadikannya modal awal, ayahku bekerja dan
mulai membuka bengkel las. Aku tidak memiliki ingatan bagaimana pertama kali
aku datang ke Cikampek. Yang kutahu ayahku adalah tukang bikin pager besi.
Beliau banyak otodidak dalam merintis usaha kecilnya itu. Sesekali di hari
minggu aku diajaknya ke Karawang, tidak ada naik delman istimewa kududuk
dimuka. Aku naik vespa dan beli bahan-bahan dan peralatan bengkel. Bukan suatu
kenangan yang indah seperti anak lainnya, tapi itu sangat mengesankanku. Ketika
kecil, aku memang anak ayah. Kalau sejak dulu aku tahu kata kencan, akan
kugunakan kata itu padanya dan akan kupinta tiap minggu untuk kencan denganku.
Semua anak putri yang beranjak dewasa pastilah merindukan masa-masa itu, dimana
kau berduaan dengan ayahmu, beli es krim dan merasa sangat senang karena ayahmu
membelikanmu es krim. Kami sama-sama baru menjalani peran ini, aku sebagai anak
perempuan dan beliau sebagai ayahku, tapi kami berdua begitu menikmatinya.
Aku
ingat dulu di kecamatan-yang hanya sehampar lapangan hijau dan becek ketika
hujan turun-ada grup sirkus yang menggelar pertunjukkan. Ayahku mengajakku
menontonnya di hari minggu. Kami kencan berdua. Singa yang penurut, laki-laki
dalam balutan legging hijau muda yang melintasi tambang di udara, tenda kuning
sirkus, kursi kayu berupa papan tempat kami duduk, gajah gendut yang berdiri
dengan satu kaki, monyet yang pandai berhitung, semua memori itu sayup-sayup
selalu ada di koper yang kulabeli kenangan masa kecilku bersama ayah. Ayah yang
loyal dalam menyenangkan anak perempuannya. Yang pada hari itu tidak banyak
bicara, tapi mampu membuatku bahagia. Percayalah aku selalu berkata, aku ingin
calon suami seperti ayahku. Mungkin itulah yang kau artikan ketulusan, tanpa
petunjuk apapun, kau bisa merasakannya. Aku bisa merasakannya.
(bersambung..)
(bersambung..)
Comments
Post a Comment