“Mengapa
kita harus lahir, tumbuh dewasa, dan mati hanya di satu tempat ketika dunia ini
begitu luasnya untuk dijelajahi? Kamu harus merantau. Bukankah ketika kamu
lahir kamu sudah merupakan perantauan dari alam surgawi”, begitulah petuah
seorang perantau yang kisahnya akan kuceritakan padamu.
Merantau
mungkin bukan hal yang aneh untukku. Lahir di Bumiayu, bikin akte kelahiran di
Karawang, batita di Bumiayu, SD di Cikampek, SMP di Bumiayu, SMA di Cikampek lagi,
kuliah di Bandung. Babak-babak kehidupanku selalu terfragmentasi pada kondisi rantau.
Merantau.
Itulah yang dilakukan oleh orangtuaku, dan hampir semua orang dewasa yang lahir
di tanah pertanian yang konon kurang lapangan pekerjaan. Lantas pemuda-pemudi
berpamitan pada orang tuanya berjanji akan pulang ketika sudah mendapat untung.
Beberapa memang sukses di perantauan, beberapa lainnya tidak, dan tak jarang
yang seolah mengganti jati dirinya, menjadi pribumi dan merasa sebagai orang
lama di tanah perantauan.
Apapun
itu yang terjadi di kehidupan memang banyaknya tak pernah diajarkan di bangku
sekolah, tak satu kalimat dari buku teks yang mampu memaparkan kejamnya dunia
kerja, dunia orang dewasa, dunia rantau. Aku bahkan belum bisa berucap ‘rantau’
ketika aku tiba di perantauan. Sejak kecil, aku dan ibu ikut ayah yang bekerja
di Cikampek, tanah perantauan. Cikampek itu kecil, bagian sempit, kota paling ujung
dari kabupaten Karawang, berlari sambil merem kita bisa tiba-tiba ada di
kabupaten Purwakarta.
Entah
bagaimana ayahku memutuskan untuk berpijak di tanah gersangnya, berteduh di
atmosfernya yang compang-camping penuh luka ozon. Mungkin semuanya bermula jauh
sebelum proses penciptaanku. Pada waktu itu, ayahku sudah menetap di Cikampek
untuk mencari modal membuka usahanya sendiri. Beliau ikut berdagang dengan kaum
pedagang jajanan dan segala macam kue kering. Pedagang-pedagang dan para bosnya
ini berasal dari kampung halamannya. Kuceritakan sedikit tentang kampung
halaman ayahku itu, Cinanas namanya. Desa yang terletak jauh di rimba, di sana
berdirilah rumah Mbah di salah satu bukitnya. Awan memang nampak lebih dekat
dengan jangkauan tanganmu di Cinanas. Kau akan melihat gunung Slamet di pagi
hari, terkadang bersama halimun yang serupa selimut karena pagi membawa hawa
dingin. Gunung Slamet yang angkuh selalu terlihat seperti lukisan yang akan kau
gantung di ruang tamu. Keindahannya akan membuatmu mengingat betapa kuasaNya
Sang Pencipta. Untuk sampai di Cinanas kau kiranya harus meniru Ninja Hatori,
mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir indah (tidak ke samudera tapi
untuk irigasi sawah). Sungguh tak ada alasan yang cukup masuk akal mengapa
seseorang harus meninggalkan kampung jika mengingat bagaimana pagi yang
bersahaja akan menyapamu dengan lekuk gunung di kejauhan. Satu-satunya yang
cukup besar tak terkalahkan dari gunung tersebut mungkin hanyalah gengsi
seorang pria.
Ayahku tinggal
di Krajan. Sebuah gang sempit yang penuh dengan anak pinak orang Cinanas. Aku
pernah kesana saat aku kecil, hampir antar tetangga membentuk sebuah miniatur
baru masyarakat desa Cinanas. Di Gang itu semua orang sibuk memasak kue atau
mengemasinya. Di setiap sudutnya disesaki pedagang-pedagang yang kelelahan
pulang berjualan dan istri-istri yang melakukan baktinya pada suami di peraduan.
Sisi kanan kirinya terdapat got tempat air dan limbah mengalir. Rumah-rumah
kontrakan itu berjajar rapi membentuk bedeng. Tiap bangunan berbagi tembok,
tidak ada halaman untuk bunga karena selalu diisi sepeda ontel dan jemuran. Setiap
rumah membawa mimpi suksesnya sendiri, setiap kamar terlantun do’a dari ibu di
desa, dan tiap keluarga yang tinggal merindukan rumah dimana gunung Slamet
berdiri disana ketika mereka memandang langit. Semua orang di perantauan selalu
memberikan aura kerinduan tak terperi akan masakan ibu, akan pagi di ladang
bersama ayah, atau siang dimana mereka mengaso makan teri dan sambel beralas
daun pisang.
(bersambung..)
Comments
Post a Comment