Aku punya obsesi aneh pada
orang yang berumur. Aku selalu penasaran apa yang mereka rasakan ketika menua. Bagaimana
rasanya menjadi tua? Menyenangkankah atau justru sebaliknya? Apa yang mereka
ingin nasihatkan pada generasi muda? Aku tidak sampai hati menanyakan itu pada
siapapun yang aku kenal baik.
Dalam satu kesempatan ketika
aku pulang dari Bandung, aku duduk dengan seorang nenek di bis. Beliau
mengajakku berbicara berbagai hal remeh temeh. Aku meladeninya dengan ramah dan
sopan. Aku selalu berpikir berbicara secara sopan dengan orang asing sama
halnya seperti menanam benih kebaikan. Kelak mungkin tetua di keluargaku
mengajak orang asing mengobrol, aku berharap orang itu juga akan melakukan hal
yang sama dengan apa yang aku lakukan sekarang.
Pada nenek itulah aku pertama
kali kurang ajar ingin memuaskan obsesi anehku. Aku bertanya padanya sebagai
hidangan pembuka, berharap ia masih lapar akan perbincangan. “Nek, gimana
rasanya jadi tua?” Untuk beberapa menit selanjutnya aku merasa menyesal. Tapi
hidangan telah disajikan dan tudung peraknya telah diangkat.
Nenek itu semacam bingung dan
memberi tatapan yang sama ketika dosen anorganikku melontarkan tatapan berisi
cemoohan sambil berharap mahasiswanya mempunyai persepsi sempurna tentang
isomer ligan senyawa koordinasi kompleks. Aku bersyukur ternyata mentalku lebih
kuat dari yang kuduga. Aku tersenyum dan mulai mengutuki diri sendiri, atas
kualifikasi apa aku memilih nenek ini untuk menjawab pertanyaanku. Mungkin akan
lebih masuk akal kalau aku menanyakannya pada dosen pembimbing akademikku. Aku
benar-benar butuh dibimbing.
Ucapan yang keluar dari nenek
itu hanya “Enak kok.” Ada dua percabangan kemana pembicaraan ini akan
berlanjut. Satu, aku harus menimpalinya dengan nada antusias namun elegan “enak
apanya?” Dua, aku tersenyum traumatis sambil mengeluarkan headset.
Bukankah aku akan terjebak
selama dua jam setengah dengannya? Bagaimana kalau dia berpikir bahwa aku ini
anak muda tidak tahu diri dan hal itu membuatnya terluka atau kecewa? Seharusnya
aku mempertimbangkan gender ketika menyebut kata ‘tua’. Mungkin dosen
pembimbing akademikku akan lebih mumpuni dalam menjawabnya. Bukan mustahil
dosenku itu akan menyuruhku untuk membuat angket dampak umur pada pertanyaan
sensitif yang validitas dan realibitasnya dihitung dengan SPSS.
Sebelum konflik percabangan itu
membuatku depresi, nenek itu berinisiatif untuk membuka sleting tas yang berada
di pangkuannya. Dia mencari sesuatu, mengaduk segala isinya, dia mengangkat handphone yang baru ia temukan. Dia
membawa handphone itu menjauh dari
pandangannya.
Aku memilih diam meski jawaban
rumpalnya masih menyisakan enigma tak terpecahkan. Sepanjang perjalanan kita
berdua berdiam, terjaga, dan hanyut dalam lamunan mengenai kehidupan yang penuh
obsesi aneh ini.
Comments
Post a Comment