Aku
pikir seseorang sesekali harus berpikir tentang kematiannya.
Pada
pagi ketika kita menyetel TV dan jari kita dengan lihainya memijit tombol
saluran berita dalam negri yang berisi penuh kejujuran yang cacat dan kebaikan
yang dilebihkan.
Pada
siang ketika kita lama mengantri untuk membeli makan, mulai bosan dan hampir
memutuskan untuk mencari tempat makan lain yang lebih sepi.
Pada
sore ketika kita menunggu lampu merah berganti dan tidak sengaja melihat
pengamen kecil dibalut jaket merah dan jeans
hitam yang sudah sangat lusuh.
Pada
malam ketika kopi yang kita minum terasa hangat namun tidak menjawab
kegelisahan kita.
Pada
dini hari ketika pemikiran tentang kehidupan dan tujuan-tujuannya membawa kita
untuk menyeduh kopi kedua.
Bagaimana
aku harus mati? Apakah kamu akan mengoreksiku dan bilang “meninggal, bukan
mati, emang kucing”? Aku tidak berpikir aku pantas menyandang kata meninggal.Terkadang
aku bahkan tidak tahu apa bedanya aku dengan kucing.
Aku
pikir manusia seharusnya mendesain kematiannya sendiri. Mengapa manusia selalu
lebih banyak mendesain kehidupannya dan melupakan hal krusial ini? Bukankah beberapa
dari mereka percaya mereka akan mati dan dihidupkan abadi?
Layaknya
bagaimana kita hidup, bagaimana kita mati pun akan menjadi kejutan dan hadiah
dari Tuhan. Tak ada seorang pun dari kita pernah membahas kematian di meja
makan, seusai perjamuan singkat bersama anggota keluarga. Tidak ada seorangpun
yang bersiap dan bercerita dengan santai tentang kematian, yang membeli kain
kafannya ketika hidup, yang memilih pada tanah sebelah mana dia ingin
dikebumikan.
Ketika
aku mati, aku ingin kau tidak menangis. Kau harus tersenyum, bukan karena kau
senang aku telah pergi. Tapi aku tidak ingin kau mengingatku seharian itu dan
melupakanku setelah tujuh hari. Aku ingin kau tersenyum dan membicarakan
hal-hal baik, kenangan-kenangan indah, dan kegilaan-kegilaan masa muda kita.
Mungkin ketika kau bercerita, tidak terasa air mata meleleh di pipimu,
menghangatkan jiwamu dan kau akan mengingat kematianmu.
Kau
tahu, aku mengagumi budaya merayakan kematian di Korea. Mereka berpakaian rapi
dengan jas dan gaun hitam bak seorang Amerika yang berduka, kemudian makan dan
mabuk bersama. Mereka reuni dan mencoba memasang muka biasa saja. Bahkan
keluarga yang ditinggalkan sibuk melayani pelayat yang bersiap mabuk. Kau boleh
seperti itu. Makanlah makanan kesukaanmu, yang paling mahal, minumlah minuman
yang kau sukai, yang sudah lama tidak kau pesan. Setelahnya kau mungkin akan
merasakan kekosongan. Seolah badanmu telah dilubangi dan angin bisa melintasi
bolongan itu. Aku tak peduli dengan kesedihanmu, sudah kuinginkan kau untuk
tersenyum.
Ketika
aku mati, tolong jangan ingatkan aku betapa dunia ini telah menjadi tempat yang
indah denganmu para sahabatku didalamnya. Aku telah mencoba untuk tinggal,
namun masaku telah berakhir.
Comments
Post a Comment