Membaca
buku merupakan hal yang wajib nongkrong pada list resolusi tahun baruku. Tidak
sampai aku memutuskan untuk berhenti membuat resolusi tahun baru tiap terompet
didendangkan. Aku ingat masa dimana aku menengok keseluruhan tahun yang kuhabiskan
hanya membaca empat buku di tahun 2014. Aku ingat hari dimana aku ingin membaca
buku kemudian bergegas membeli buku dan membacanya hingga ke pertengahan untuk
kemudian kutinggalkan karena kesibukan lain dan akhirnya kulupakan jalan
ceritanya dari awal. Nampaknya gairah membaca buku serupa dengan iman umat Nabi
Adam, naik turun tak keruan ekstrapolasinya.
Pada
awalnya, aku beralasan sibuk ini dan anu sebagai pembelaan pribadi atas
kelalaianku akan kecepatan waktu melaju dan terbang membawa tahun yang baru
untuk dilalui. Mencoba meyakini hal buruk yang tidak sepenuhnya jujur bukan
pekerjaan mudah, karena suatu ketika ada masanya kita melamunkan dengan
sungguh-sungguh semua alasan palsu itu. Aku terduduk di angkot ketika
memikirkan “Aku selalu ingin menimang buku lagi di pangkuanku, tapi mengapa aku
berujung menjadi tsundoku dan merasa waktuku selalu kurang?” Aku terpekur,
mulai melirik jalanan yang kacau balau, pikiranku pun sama kacau balaunya.
Aku
menelisik karena apakah aku mulai jarang membaca. Aku tercenung akan respon
alam bawahku yang meruap menjajah alam sadarku. Banal. Banal sekali responku
itu. Aku kurang motivasi membaca. Aku butuh alasan sempurna sebagai mantra
patronus ketika keburukan budi merongrongku dan menghentikan niat bacaku. Alasan
itu tepatnya adalah jawaban dari pertanyaan sederhana : kenapa membaca?
Terlepas
dari argumen mengenai wawasan ilmiah dan memuaskan hasrat intelektual, aku
mencari sesuatu hal lain yang lebih tidak pretensius. Yang tanpanya alasan
sempurna itu jadi invalid. Kenapa membaca? Karena kebutuhan. Itulah kata yang
kunantikan mencelos dari semak belukar pikiran. Aku teringat esai Richard
Kearney yang berjudul Where Do Stories
Come From?, isinya cukup sarat makna filosofis yang klop dengan pengalaman
manusia tentang membaca. Ungkapnya, “manusia merupakan makhluk pencerita,
serupa dasarnya bahwa manusia makhluk pemakan. Manusia butuh untuk memakan.
Butuh pula untuk bercerita. Andaikata memakan diperlukan guna menyambung hidup,
bercerita diperlukan guna membuat hidup yang disambung ini sepadan untuk kita
jalani.”
Pernyataan
ini begitu hebatnya sampai-sampai ketika membacanya aku butuh sejurus waktu
untuk mengumpulkan semua pikiran dan perasaanku yang berserakan. Richard
memulainya dengan menyebut istilah ‘pencerita’. Dimanakah kiranya membaca akan
bersimpaian dengan bercerita? Membaca memang bukan kemampuan alamiah manusia,
dibutuhkan usaha dan waktu untuk mengembangkan kemampuan berbahasa sampai pada
titik dimana perpaduan kata mewakilkan simbol atau sejarah lisan. Pentingnya
bercerita terhimpun pada fakta bahwa akan selalu ada cerita untuk diceritakan.
Cerita-cerita itu pada masa kini bisa jadi lebih mudah diakses dan
terdokumentasikan dengan baik.
Reading is a complex cognitive process of decoding symbols in order to construct or derive meaning (reading comprehension). It is a means of language acquisition, of communication, and of sharing information and ideas. – Wikipedia
Coba
deh pikirkan bagaimana inovatif dan eksklusifnya membaca ketika tulisan pertama
kali ditemukan! Tidakkah kamu berpikir bahwa kebutuhan manusia untuk bercerita
merupakan dasar ide untuk menulis, dan menulis lah yang merupakan pembuka jalan
bagi kemampuan membaca?
Mungkin
pada awal kemunculannya, manusia akan saling berbagi cerita sembari terduduk
melingkar mengerubungi api unggun. Cerita itu kemudian melesat dari satu mulut
ke mulut lain, dari satu telinga ke telinga lain. Seringkali ketika kita
bercerita, kita juga sering mengungkap detail atau mendramatisir, agar cerita
itu lebih menarik. Kadang di akhir cerita beberapa berpendapat atau kita yang
akan mendahului bertanya atau meminta masukan. Kita menggunakan keberadaan kita
saat ini untuk mengingat kembali masa lalu.
Memang
kisah tentang mengapa kamu membeli nasi goreng kemarin malam agak kurang
mendalam untuk diceritakan, tapi secara umum, selalu ada alasan khusus mengapa
kamu ingin berbagi cerita tersebut dengan orang lain.
Hal ini sebenarnya tidak berubah dari awal waktu.
Kearney menyimpulkan bahwa tiap cerita “shares
the common function of someone telling something to someone about
something”. Kita selalu menjadi someone
dalam tiap proses penceritaan.
Dalam proses membaca, kita belajar tentang suatu hal
atau mengetahui suatu hal untuk pertama kali. Contohnya adalah ketika kita
membaca manuskrip-manuskrip tua atau skriptur mengenai suatu solusi
perpolitikan kerajaan zaman dahulu. Atau mungkin membaca tentang pemikiran dan
pandangan yang bidangnya kurang kita pahami. Kita ingin memaknai bacaan
tersebut, memahaminya dan berbagi pengalaman kemanusiaan kita karena kita
manusiawi. Kita selalu ingin melakukan hal tersebut karena kita manusia sadar
diri akan hal yang tidak kita ketahui dan hal yang tidak kita pahami, dan kita
selalu ingin berbagi.
Seorang pencerita tidak jauh berbeda dengan pembaca atau
pendengar. Ada pemahaman bersama yang kedua belah pihak coba untuk dapatkan
dari sebuah pengalaman. Seorang penulis menyajikan novel atau esainya ke publik
berharap sebuah percakapan yang mempesona terjadi, mengeneralisasi ide lama
atau baru dan sekedar berbagi perasaan pribadi mereka. Yang para penulis
inginkan sebagai balasannya hanya agar para pembaca menggunakan imjinasinya dan
pikirannya yang terbuka untuk memperkaya pengalamannya sebagai manusia.
Literatur kadang memecahkan permasalahan yang bahkan kita tidak tahu bahwa kita memilikinya. Kita membaca hari ini karena permasalahan kita tidak jauh berbeda dengan masalah yang ada di masa lalu; atau masalah kita hanya beradaptasi dengan masa kini dan semua teknologi baru.“ Literature as a whole is … the range of articulate human imagination as it extends from the height of imaginative heaven to the depth of imaginative hell.”
---------------------------------------------------------------------------------------------
Hidup di negara yang tengah berkembang dan mendewasa di
masyarakat yang sadar pendidikan, aku sangat bersyukur diajarkan membaca pada
usia yang cukup muda. Jadi sangat wajar kalau kadang hal tersebut membuatku tidak
menganggap penting kemampuan membaca. Lalu aku mengingat zaman dimana kemampuan
membaca dianggap sebagai simbol status kekayaan seseorang. Bukankah sangat
ajaib bagaimana sejarah literasi berkembang.
Membaca sebenarnya sangat menyenangkan. Kita selalu
belajar hal baru, layaknya menjadi seseorang yang berbeda yang dihadapkan pada
pilihan hidup yang berbeda. Kadang ketika kita membaca kita tanpa sadar, kita
menjadi salah satu karakter yang hidup di dalam ceritanya. Imajinasi adalah
kendaraan untuk merumuskan jalan baru menemukan dunia, bukan sebagaimana
seharusnya tapi sebagaimana kamu inginkan. Sebuah alternatif. Sebuah opsi.
Keindahan yang serupa juga ada pada berita. Aku pikir
artikel berita dan opini adalah potongan mengagumkan karena mereka adalah
refleksi nyata dari dua jenis storytelling dalam jurnalisme.
From the word go, stories were invented to fill the gaping hole within us, to assuage our fear and dread, to try to give answers to the great unanswerable questions of existence: Who are we? Where do we come from? — Richard Kearney
Biasanya ketika kita membaca buku atau menonton film,
kita mengantisipasi plot twist.Karena
umumnya kita menceritakan kembali cerita yang sama, hanya genrenya saja yang berbeda, mungkin menyamar melalui sci-fi, romance, action, adventure. After
all, “the aim [of stories is] not so much to invent something that never
happened, or to record something that did happen, but to retell a story that
had been told many times before” (Kearney).
Membahas mengenai tsundoku,
apakah benar kita tidak punya waktu untuk membaca? Aku mencoba berpikir
realistis : mungkin kita begitu dikonsumsi oleh media digital sehingga sulit
untuk meletakkan handphonedan duduk
dengan buku atau e-reader untuk beberapa jam. Kemampuan kita berfokus tidak
mempersenjatai kita untuk menyaksikan keindahan sebuah cerita dalam novel.
Dalam situasi akademik, kita tidak memiliki banyak alasan untuk membaca demi kesenangan
karena selalu ada tes, tugas makalah, esai atau jurnal dan laporan.
Kepada orang-orang yang membaca demi kesenangan,
terkadang memang sulit untuk mengukur keterserapan teks dan seberapa banyak
yang kita serap. Apakah kita membaca hanya untuk melalui waktu? Apakah kata
yang kita baca berpendar melayang-layang di pikiran kita? Tentunya aku tidak
tahu, aku tidak ingin berdebat. Aku hanya ingin orang-orang bisa menikmati
membaca buku, apapun itu. It’s so important to remember our humanity and the
very essence of why we do the things we do; why we live. I read
things outside of textbooks to learn, grow, and self-educate.
So, ini dia kesimpulannya, terkhusus untuk dedek-dedek gemas : Stay in school and keep reading a wide variety of genres, styles, and formats.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Daftar Pustaka
So, ini dia kesimpulannya, terkhusus untuk dedek-dedek gemas : Stay in school and keep reading a wide variety of genres, styles, and formats.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Daftar Pustaka
Frye, Northrop. (1997). The Educated Imagination.
Toronto: House of Anansi Press.
Kearney, Richard. (2002). On Stories.
London: Routledge.
Comments
Post a Comment