“Sebuah hubungan layaknya hiu. Secara konstan harus terus bergerak. Kalau
tidak, ia akan mati.”
Dalam Annie Hall, Woody Allen
membicarakan kutukan tak terelakkan dalam relationshipnya
dengan Diane Keaton, tanpa disadari Allen sebenarnya telah merangkum bagaimana relationship abad 21 berlangsung.
Kita hidup di masa dimana kita diharapkan untuk konsisten berkiprah dalam
tiap momen hidup ini. Kita diharapkan untuk selalu menciptakan sesuatu.
Ada banyak cara untuk melakukan sesuatu, tapi kita selalu memilih melakukan
cara yang sama berulang-ulang. Ada banyak hal yang bisa kita kerjakan dengan
waktu yang kita miliki, tapi kita tidak melakukan apapun, tidak kemanapun.
Para leluhur kita sangatlah beruntung karena tidak dilahirkan untuk bisa
melakukan berbagai hal dengan banyak cara. Jika mereka ingin bertemu dengan
kekasihnya di luar pulau? Ambil pena, tulis sebuah surat cinta, bersepeda
menuju kantor pos, dan menunggu balasan surat beberapa minggu, itupun apabila
beruntung.
Kadang saya merasa keberadaan kita seolah terbagi tujuh dan kita
menyimpannya di beberapa horcrux. Kita
taruh satu di rumah, di kantor, di pesan singkat yang sudah dibaca namun belum
dibalas, di sosial media, dan mungkin sebagian lain pada kemacetan jalanan yang
memburu.
Menyalahkan kemajuan teknologi bukanlah sebuah jawaban dan tidak menjadi
solusi. Teknologi hanyalah alat belaka untuk memfasilitasi dan memuaskan
keinginan kita. Adanya teknologi memang membuat kita menginginkan dan
membutuhkan lebih dan lebih dan lebih banyak hal. Tanggung jawab kita bersama
memang untuk belajar bagaimana menjadi ‘tuan’ dari teknologi.
Namun sekarang, kita tidak dapat begitu mudahnya untuk berhenti. Kita butuh
karena kita memang butuh. Kita harus terus bergerak atau kita akan mati. Kita
hidup di Zaman Hiu. Beginilah bagaimana kita menyalakan api untuk periuk
belanga kita.
Saya tidak menyangkal kalau saya pun merasa beruntung bisa melakukan 1001
hal yang dulu mustahil dilakukan. Hal-hal tersebut membuat saya mempunyai sense of purpose.
Masalahnya kita terlalu terikat dan susah untuk melepaskan diri dari 1001
hal itu. Kekhawatiran kalau suatu saat saya tidak akan bangun dan merasa “Hey it’s new day. Let’s do something new.”
Tidak ada lagi kesenangan melakukan hal baru merupakan kelaknatan yang
membayangi saya.
Baru-baru ini saya menghabiskan akhir pekan sendirian dengan berdiam diri,
benar-benar tidak melakukan apapun – antitesis dari produktivitas. Lalu saya berusaha
keluar kamar dan pergi ke taman Parter, melihat seorang Bapak yang entah
mengapa membawa kail dan mencoba mencelupkan pancingannya di kolam yang
dipenuhi kodok. Memperhatikan beberapa muda-mudi, capung-capung dan tukang
jajan, kemudian saya kembali ke kosan, mengambil laptop dan minum kopi
sendirian sembari menulis beberapa hal sialan yang menjadi beban batin saya.
Saya menemukan kesenangan memiliki tujuh kepingan diri saya menjadi satu di
waktu yang sama, dan sepenuhnya terbenam dengan apa yang saya tulis. Kadang
saya merasa tulisan saya terlalu bagus, bahkan saya pun tidak mengerti apa yang
saya tuliskan. Saya tidak ingat kapan terakhir kali saya begitu terikat dengan
apa yang saya lakukan sehingga saya merasa tidak memedulikan dunia.
Selanjutnya saya harus pergi ke toko buku, membeli beberapa, dan pergi untuk
membacanya ke suatu tempat tanpa membawa handphone.
Nyatanya, momen-momen yang kadang kita anggap tak berarti karena tak kita
rencanakan bisa mengubah cara pandang kita akan dunia. Kalau setiap kita bisa
mengubah cara pandangnya akan dunia, bukan tidak mungkin hal itu akan mengubah
dunia.
Coba ingat kembali Eurekanya
Archimedes, bukankah dia sedang menikmati momen-yang kita anggap tak berarti-di
bath tub. Atau mari ingat kembali
cerita Newton dan apelnya. Newton mungkin sedang duduk-duduk santai di bawah
pohon apel ketika dia memecahkan rahasia semesta.
Realistisnya, untuk kehidupan ini saya akan terus melanjutkan 1001 hal yang
memberi saya tujuan untuk terus hidup. Saya memang tidak bisa leluasa duduk di
taman. Tapi sekarang saya belajar kalau saya harus maintain kesadaran saya supaya saya tidak menggila. Dari waktu ke
waktu saya harus slow down. Ketika
semuanya seolah berlari dengan kecepatan seribu mil perjam, saya harus
menyisihkan kesempatan untuk mengkalibrasi diri sendiri, untuk mengetahui bahwa
kita ada disini sepenuhnya - semua bagian dari ketujuh horcrux.
Berabad lalu, Einstein menemukan bahwa semakin cepat kita bergerak, waktu
seolah melambat, dan kita mungkin tidak menyadarinya. Apabila kita bergerak
mendekati kecepatan cahaya, kita akan merasa kita hanya pergi 2 minggu, dan
ketika kita kembali ke bumi, kita sudah pergi selama 20 tahun.
Saya tidak sedang mengatakan kalau kita harus hidup di kehidupan yang
lambat, tapi terkadang kamu bisa menemukan sesuatu yang berharga jika sekali
saja kamu slowing down.
Kesimpulannya, berpikirlah selalu untuk menggapai bintang tapi jangan lupa slow down, atau mungkin kamu akan
kehilangan 20 tahun dan tidak menyadarinya.
Comments
Post a Comment