Kamu ngga pernah terlahir
spesial. Aku harap kamu cool aja
nanggepinnya.Sebelum kamu jadi sedih, tahanlah dulu sebentar keinginanmu untuk
beranjak. Faktanya, aku juga ngga spesial. Sejujurnya, aku belum ketemu sama
bentuk kehidupan di planet bumi yang bisa diklasifikasikan sebagai ‘spesial’
sebagaimana yang selalu kita gadang-gadangkan. Selayaknya anak milenium yang
dibesarkan dalam postmodernisme barat
dan timur, aku diajarkan kalau aku spesial dan akan melakukan hal-hal besar.
Selaris bisnis penyadaran pentingnya ESQ, aku juga diyakinkan bahwa aku bisa
melebihi apa yang aku tahu dan apa yang orangtuaku harapkan. Apakah itu semua
nyata? Atau aku terlalu muda dan mempercayai apa saja menjadi kelemahanku saat
itu. Apa yang membuat kita berbeda dari 7,3 milyar manusia lainnya? Tahun
berganti tahun, kita ngga lihat apapun terjadi di kehidupan kita. Aku mulai
berpikir kalau semua itu hanya kotoran banteng alias bullshit. Kita kadang
terusik dan bertanya “kok gini-gini aja ya kehidupan gw?” Dan ternyata plot twistnya :
Kita hanya berusaha mengalienisasi diri kita dan percaya kalau kita
spesial. Kita ngga mau mengakui kenyataan kalau kita semua terlahir sama dan
biasa saja. Kita hanya perlu berusaha menerima fakta itu, dan gunakan fakta itu
untuk melakukan hal-hal yang spesial.
Mari kita sebut lapisan inti, lapisan reseptor, dan lapisan
projektor. Begini diagram dan penjelasannya:
Inti. Kita dibesarkan untuk memilah hal
yang benar dan memilih hal yang baik dari hal yang salah dan buruk. Kita dikelilingi
oleh masyarakat yang berbudaya. Itu artinya kita punya inti yang sama dengan
99,99% populasi warga dunia. Jauh di lubuk hati terdalam, kebutuhan-kebutuhan
dan ketakutan-ketakutan kita sama. Kita diprogram untuk mencapai apa yang
menyenangkan dan menghindari apa yang membuat kita menderita. Kita semua
berharap mempunyai pekerjaan yang hebat, keluarga yang baik, dan kesempatan
untuk melakukan hal-hal menakjubkan. Apapun itu yang pernah kita lamunkan
sebelum kita tidur dan membuat kita terjaga.
Pada dasarnya,
kita ingin menjadi sesuatu yang berarti, dan takut kalau semua hal itu ngga
akan terjadi.
Kamu pernah
kepikiran ngga kalau Leonardo DiCaprio sebenernya tuh takut dia ngga ketemu
cinta sejatinya trus dia ujungnya jadi bujang lapuk, meskipun sepanjang mata
memandang dia melihat model sana-sini? Pernah kepikiran ngga kalau sebenernya
Steve Jobs tuh awalnya takut gagal, meski sekarang kita tahu beliau jadi icon
karena punya sesuatu yang ‘unik’? Pernah kepikiran ngga kalau sebenernya
presiden berharap dia bisa ngabisin lebih banyak waktu dengan anak-anaknya
ketimbang harus memikul beban negara di pundaknya 24jam sehari? Kita semua
tidak begitu berbeda bukan? Kita takut tidak menemukan love of my life. Kita khawatir dengan kegagalan. Kita berharap kita
lebih punya waktu untuk orang yang tercinta.
Reseptor. Lapisan tengah ini tentang apa
yang kita pikirkan. Bagaimana kita memproses dan menganalisa banyak hal. Kita
masih bukan seseorang yang spesial, tapi kita memahami setiap informasi dengan
cara yang berbeda. Contohnya gini, bayangkan kita ingin karir yang brilian.
Kita mulai apply pekerjaan impian kita
dan kita ditolak. Si lapisan inti bilang “Hey
kok lu ngga berhasil ya?” Kemudian informasi dari lapisan inti melewati
reseptor dan bisa diproses jadi beberapa pemikiran semacam:
1. “Yah.. gw
gagal lagi. Hidup gw begini amat ya? Orang-orang emang lebih jago ketimbang gw,
gw mah apaan. Argh, gw benci semua orang”, atau
2. “Oke dari
sini gw belajar kenapa gw gagal. Lain kali gw ngga gini lagi. Satu penolakan
ini mendekatkan gw ke penerimaan lain.”
Atau kita bayangkan, kita terjebak
dalam suatu penyerangan penjajah dan tiap harinya orang-orang mulai menghilang.
Kita melihat beberapa orang mulai blingsatan dan jadi gila, tapi ada juga orang
yang tetap tenang dan biasa aja. Lapisan inti mulai ngirim pesan “kamu ngga
aman disini.” Lapisan reseptor mungkin bakal kaya gini:
1. “Haduh
tamat deh gw. Gw pasti korban selanjutnya dan gw ngga bisa ngapa-ngapain”,
atau
2. “Apa
tujuannya semua ini sih? Gimana ya gw bisa keluar dari situasi ini? Untuk
apakah gw mati? Gw pengen menolong yang lainnya. Gimana ya caranya?”
Kita bisa lihat betapa besar perbedaan yang
bisa diciptakan dari si reseptor. Coba pikir lagi semua hal yang pernah terjadi
sama kamu, bagaimana reseptor kamu biasanya bekerja.
Projektor. Siapa diri kamu sebenarnya dan ingin kamu sebenarnya apa.
Jadi si lapisan inti melemparkan sesuatu hal terus diproses sama reseptor, selanjutnya
bagaimana kamu bakal memahami semua ini? Apa yang kamu ingin lakukan? Ini yang
bakal membedakan kamu dengan yang lain.
What’s your next move, huh?
Apakah kamu hanya cukup dengan merasa
dan mengerti semua hal yang terjadi atau kamu akan mulai beraksi?
Akankah kamu memulai berusaha meski
dengan peluang 1 % atau kamu akan memilih melakukannya minggu depan karena sekarang
ada TV show baru dan kamuharus menontonnya?
Apa kamu hanya akan berpikir kalau kamu
harus lebih menjaga kesehatan tubuh kamu dengan olah raga atau mungkin setelah
kamu malah beli nasi padang dan oke-nanti-dipikirkan-lagi-deh-ya?
Problem
lainnya yang muncul adalah kadang kita melihat perbedaan besar di semesta
sosial media tentang orang-orang yang spesial dan yang tidak. Kita lihat orang di instagram posting
foto travelling yang keren dengan pose the-happiest-person-in-earth.
Kita nanya ke diri sendiri “Kenapa ya gw ngga se-special itu?”. Hey, mereka ngga spesial kok, mereka juga memproses
informasi dan memastikan kalau projektor ngelakuin sesuatu tentang hal
tersebut. Mereka juga punya ketakutan-ketakutan, keraguan dan kekhawatiran.
Hanya saja, mereka memahami semua itu dengan cara yang berbeda.
Lihat saja Steve Jobs yang jenius mem-branding dirinya dan produknya sehingga
orang-orang berpikiran seperti apa yang ia inginkan dirinya dipikirkan.
Meskipun nih di dunia teknologi banyak juga yang berperan penting dan membuat
perbedaan besar (check out Dennis Ritchie).
Contoh nyatanya, aku nulis di blog ini
belum tentu ada yang baca. Si lapisan inti mulai resah, dan reseptor semacam:
1. “Berhenti
deh ngepost blog. Ngga ada yang baca juga”, atau
2. “Siapa
tahu kan ada yang baca? Mungkin harus lebih promosi lagi atau harus nulis yang
menarik. Setidaknya apa yang lu share bisa bermanfaat, paling ngga untuk
reminder ke diri lu nanti.”
Aku milih yang kedua. Karena aku juga
ngga spesial, aku selalu lapar untuk bertumbuh dan mendewasa, begitu juga
manusia lainnya. Semoga bisa manfaat ya.
Pada akhirnya, aku cuma bisa bilang
kalau orang-orang harus mengambil keuntungan dari fakta bahwa kita semua ini
sama aja. Kita bisa lebih saling terhubung dan saling menolong. Menciptakan
hal-hal ajaib yang kita sudah miliki di dalam diri kita. Bukankah itu alasan
kenapa film, buku, produk-produk apapun punya banyak konsumen? Ya karena kita
semua mempunyai keadaan dan emosi yang hampir serupa.
Seorang pemain piano terkenal yang
memiliki jutaan pengagum tidaklah terlahir spesial. Pianis itu terkenal karena
menciptakan nada yang berubah menjadi emosi yang sama yang dimiliki jutaan
orang.
So, mungkin kita harus mulai melihat
kesamaan apa yang kita miliki ketimbang harus berlaga dan mencoba jadi
‘spesial’.
Ada perbedaan tipis di pendekatannya,
tapi mungkin itu bisa bawa perubahan besar di dunia ini.
Aku percaya tiap orang punya ketakutan masing-masing, gimana mereka mengahadapinya adalah bagaimana diri mereka sendiri sebagai inti. Lanjut nulis, ang! Aku pembaca setia.
ReplyDelete