Punggung
Sore
itu hujan. Jalanan yang basah, udara yang lembab dan aroma tanah yang terparkir
rapi di hidungku. Punggungnya terlihat hangat, membuat siapapun yang melihatnya
ingin memeluknya. Punggung itu milikmu, dan dalam hati kecilku sudah sejak lama
aku ingin memilikimu, agar aku dapat menyentuh punggungmu sebanyak apapun aku
mau. Meski begitu, aku ini manusia biasa yang sama seperti manusia lainnya,
cukup rakus dan egois. Aku tidak saja ingin memilikimu tapi aku juga ingin kamu
mencintaiku. Mungkin cerita ini terdengar seperti cerita cinta klise dimana
pertemuan akan menghasilkan cerita cinta yang happy ending. Tidak. Cerita ini hanya cerita sederhana tentang
punggungmu.
Di
sudut kota yang jalanannya tampak sangat merana, kau berjalan tenggelam melintasi
samudra pikiranmu. Kota kala itu sangat diam, hanya saja riuh oleh mesin beroda
pengantar manusia. Mungkin kau menyelami duniamu sendiri, kepalamu tertunduk
memerhatikan guratan tanah yang tertimpa aspal pembangunan. Punggungmu terlihat
hangat, seperti secangkir kopi yang mengepulkan asap di saat hujan. Aku
berjalan di belakangmu, menyaksikan apa yang ingin aku rekam dalam ingatanku,
aku ingin ingatan tentang punggungmu abadi. Sayangnya keabadian bukanlah kata
yang mudah dimengerti oleh manusia biasa sepertiku.
Sore
itu, aku selesai pulang kuliah, aku telah melintasi jalan yang sama selama
seribu hari. Ya, aku menghitungnya. Aku menghitung hari-hari membosankan yang
terus berulang. Tapi sore itu aku lupa menghitungnya. Sore itu tidak
membosankan. Aku melihat punggungmu. Aku sudah iri kepada seseorang yang kelak
akan bersandar di tempat yang indah itu. Kau tahu, wanita lain mungkin
memimpikan dada yang bidang sebagai sandaran, tapi aku merindukan punggungmu,
karena aku selalu memerhatikanmu dari belakang.
Aku
teringat suatu siang di perpustakaan. Aku melihatmu memangku buku. Aku iri pada
buku itu. Aku melihatmu dari kejauhan seperti biasa. Aku bertanya-tanya pada
diriku sendiri saat itu, “Apabila orang yang paling kita inginkan untuk
menemani kita ada disini, apakah hidup kita akan jadi lebih baik? Ataukah
memang Tuhan membiarkan kita melewati jalan-jalan sunyi ini agar kita tahu apa
yang sebenarnya paling kita butuhkan?”. Kita semua mencari mata seteduh awan
untuk tinggal di dalamnya. Kita semua mencari hati selapang bumi untuk bisa
menyelaminya. Kita semua mencari, tapi tidak semua kita menemukan. Pada
kasusku, aku menemukan, tapi tidak dapat kumiliki.
Punggungmu
masih sama, terbentang kaku dan layu bermain dengan udara. Mungkin punggungmu
itu pusat gravitasi tubuhku. Aku selalu tertarik kesana, sangat kuat. Aku ingin
menjadi wanita yang memiliki punggungmu. Malam ini bersama sahabatku, kamu kujadikan bahan obrolan ringan pendamping snack.
Aku tersenyum mengingatmu, betapa konyolnya tingkah ganjil perempuan yang
menginginkan punggungmu ini. Mungkin kamu tidak mengetahuinya, tapi aku
membuntutimu layaknya agen FBI sedang mengawasi pergerakan musuh. Kamu membeli
minuman di pinggir jalan, aku seperti orang bodoh, ikut mengantri minuman itu
setelahmu dan memesan minuman yang sama denganmu. Aku ingin tahu seleramu. Di
dunia ini satu-satunya hal yang tidak bisa diprotes adalah selera, aku
menghormati seleramu. Walaupun kuakui bubble
gum cha thai rasanya seperti muntahan permen karet dingin. Aku bertanya
pada diriku sendiri, “Apakah ketika kita memikirkan oranglain, orang itu bisa
merasakannya?”. Tentunya tidak, aku tidak pernah merasa seperti aku terdampar
di pikiran orang lain, atau mungkin memang tidak pernah ada yang memikirkanku
seperti aku memikirkanmu.
Pagi
itu aku mengingat punggungmu. Aku rasa aku akan memperkenalkan diriku padamu.
Kau tahu kenapa? Karena pertama kali aku melihatmu, hatiku bilang “aku ingin
hidup dengan orang ini karena aku merasa pemilik penggung indah ini bisa
membuatku bahagia di dekatnya”. Semoga kamu tahu kalau Tuhan memiliki selera
humor yang aneh.
Bibir
Sama
seperti pagi lainnya. Kopi hangat dan wewangian sabun yang melekat di tubuh.
Aku tahu aku tidak bisa terlalu dekat denganmu, apalagi untuk mengatakan bahwa
aku menyukai bibirmu. Aku menyukai bagaimana bibirmu bergerak ke atas dan ke
bawah ketika kau berbicara. Aku menyukai bibir tipismu yang terbuka perlahan
ketika kau tersenyum. Aku suka bibirmu saat tertawa yang membuat tulang pipimu
terangkat ke atas. Sayang aku tidak tahu apa rasa bibirmu. Kau mungkin tidak
tahu bahwa di dunia ini setiap harinya ada yang memerhatikanmu dari kejauhan,
sekedar untuk memastikan bahwa bibir itu baik-baik saja. Aku bukan pria di
drama yang kau tonton, ataupun di novel yang kau baca, aku tidak akan
menyuguhkan cerita romantis yang bisa dijadikan lirik lagu. Aku hanya menyukai
bibirmu, ijinkan aku mengisahkannya sekali saja sebagai pengingat bahwa aku
pernah menemukan tempat yang paling indah di galaksi ini.
Pagi
itu aku melihatmu melintas. Aku berpikir, “Apakah kamu pernah memutar sebuah
lagu dan tiba-tiba mengingat seseorang di benakmu, kemudian kau tersenyum,
entah itu senyum getir atau bahagia? Apakah kamu pernah memikirkan seseorang
menjelang tidurmu, atau mungkin kamu terjaga karena pikiranmu penuh dengan orang itu?
Apakah kamu pernah menjadikan seseorang sebagai bahan pembicaraan dengan
temanmu?”. Aku curi-curi pandang pada bibirmu. Kalau aku tertangkap mata
olehmu, aku akan menghilangkan fokus mataku saat itu juga. Aku tahu sedikit
banyak kamu pasti curiga. Salah sendiri mempunyai bibir itu. Apabila kau takut
denganku, kenapa tidak kau lapisi bibirmu dengan garis kuning polisi. Aku ingin
bibir itu aman sebenarnya.
Sore
itu sedikit gerimis, pasti banyak manusia yang sedang mencuci kendaraannya hari
ini. Aku memerhatikan beberapa foodcourt di sepanjang jalan ini, tanpa sengaja
aku melihat bayanganmu terpantul di etalase-etalase makanan. Aku melihatmu
menatap punggungku. Atau otakku sedang menipuku? Kau tahu kan kadang manusia
hanya ingin mendengar apa yang kupingnya ingin dengar, hanya ingin melihat apa
yang matanya ingin lihat, hanya ingin percaya apa yang membuat hatinya bahagia.
Hm, tubuhmu yang lesu mengingatkanku pada kemeja ayahku yang baru pulang dari
kantor. Memikirkanmu membuatku bertanya “apakah kamu hari ini hidup dengan
baik?”. Aku rasa kamu curang. Kamu bisa melihatku, tapi aku tidak bisa
melihatmu kecuali ada pemantul di seberang jalan.
Waktu
adalah sahabat yang bisa berkhianat. Dia seolah berpihak pada kita , tapi
dengan pasti dia akan meninggalkan kita. Aku tahu peristiwa seperti ini tidak
terjadi dua kali di hidupku. Aku ingin waktu berhenti. Terdengar klise? Cobalah
menjadi aku, kau akan tahu kalimat tersebut ternyata memang sempurna. Kau masih
ingat di perpustakaan, saat itu kamu bersandar pada sofa di lounge lantai bawah. Aku pura-pura
membaca, buku itu hanya topeng. Topeng yang menutupi gengsi seorang pria. Kau
memang wanita dengan bibir yang elegan. Aku bisa menjamin Angelina Jolie akan
merasa rendah diri melihat bibirmu.
Sore
itu aku membeli minum, aku sengaja berhenti agar kau bisa menyusulku sehingga
kau berjalan di depanku. Anehnya kau berhenti untuk membeli minuman. Tidak
apa-apa, aku masih bisa memikirkanmu nanti malam.
Malam
itu aku menyandarkan kepalaku yang penuh olehmu di bantal, tidakkah kau pikir
bantal itu sangat kuat, mereka menyangga kepala manusia yang penuh beban,
bantal presiden pasti sangatlah hebat. Aku memikirkanmu yang tersenyum dengan
bibirmu itu. Aku selalu ingin menjadi awan kecil yang melindungi kepalamu dari
ganasnya mentari sore. Aku juga ingin menjadi dinding rumahmu, untuk
menyaksikan hari-harimu yang mungkin sepi dan malam-malammu yang mungkin dingin.
Andai aku bisa terlihat olehmu, “dunia ini cukup indah untuk membuatku
tersenyum kembali”, aku akan berpikir seperti itu. Andai aku bisa menatap bibir
mungilmu ketika kamu tertidur, aku akan berkata “malaikat itu ada dan sangat
nyata”. Aku pikir ini sudah saatnya. Aku berjanji besok pagi aku akan menjadi
sepotong memori yang memaksa masuk kepalamu meski dengan susah payah. Aku tahu
selera humor Tuhan itu aneh.
Punggung dan Bibir
“Aku
tahu ini cara berkenalan yang aneh, punggungku mengatakan aku harus berkenalan
denganmu..”, punggung itu berkata yang sejujurnya.
“Mengapa kau membiarkanku menunggu terlalu
lama?”, bibirnya bergerak mengikuti hatinya.
“Tenang
saja. Aku sudah membiarkan diriku kesepian supaya kau mengampuni aku yang
membiarkanmu kesepian. Maafkan aku, aku sudah berangkat secepat mungkin menuju
kamu.”
Bibirnya
tersenyum kecil merasa punggung itu akan menjadi miliknya segera.
“Apakah
kau suka minum air? Kalau kau suka minum air, kau pasti akan suka 70% yang ada
pada diriku”.
Bibir
itu tersenyum lagi, dan kini punggung itu juga ikut tersenyum.
Comments
Post a Comment