Sebenernya oleh-oleh itu ngga harus selalu berupa barang atau makanan khas, tapi bisa juga cerita. Cerita moral ketika kita bertemu banyak orang dan mengambil manfaat untuk hidup kita ke depannya. Waktu mudik kemarin sepanjang perjalanan aku banyak berpikir tentang kekhawatiran-kekhawatiran kalau ditanya pertanyaan basi macam kapan lulus kuliah atau kapan nikah. Aku tahu aku paling Cuma senyum sambil bilang, do’ain aja biar cepet.
Aku berangkat mudik ke Brebes. Kedua orangtua aku berasal dari sana. Uniknya mereka berdua ini memakai bahasa yang berbeda, papih aku yang orang Bumiayu berbahasa Jawa, dan mamih aku orang Bantarkawung berbahasa sunda. Kami sekeluarga berangkat H-1, hari minggu sore pukul 3 dan sampai ke tempat tujuan hari selasa siang pukul 11. Sangat melelahkan, perjalanan macet total ketika pamanukan lalu indramayu dan cirebon, mulai lancar ketika masuk tol palikanci, tapi keluar tol, klonengan dan songgom kami terjebak macet total tidak bisa bergerak sekitar 5 jam.
Saat itu pukul satu pagi, awalnya kami optimis kalau macet akan segera terurai, tapi sampai akhirnya kami melihat satu per satu mobil di depan kami mematikan mesin, kami pun ikutan sekaligus untuk menghemat bensin. Kami mulanya mengobrol, tentang apa saja yang kami lihat di jalanan, mulai dari pedagang asongan, kemungkinan penyebab macet, hingga fenomena tentang mudik ini kami pertanyakan. Dengan pikiran yang merana kami saat itu benar-benar rindu rumah. Mungkin itulah alasan dari semua keletihan ini, ada rindu yang harus dibayar, terutama oleh kedua orangtuaku.
Kami sebenarnya sangat lapar, padahal isya tadi kami berbuka puasa di jalan dengan bekal nasi, lodeh nangka, dan ayam goreng+sambel yang dibawa mamih. Mamih itu orangnya sangat persiapan, mamih juga membawa tikar, termos, kopi, pop mie, sampai kotak P3K. Di bagian belakang mobil pun berdus kue, kaleng khong guan dibawa dan menyesaki. Aku tahu meskipun sekarang aku melihatnya seperti sangat repot, tapi tidak menutup kemungkinan di masa depan aku akan meniru caranya dalam mempersiapkan acara mudik atau bepergian lainnya. Semua yang dijual pedagang asongan dibawa oleh mamih, dan kami tidak terbiasa membeli di luar sepanjang aku mudik dari kecil. Ketika sedang lapar-laparnya kami memakan jajanan yang dibawa mamih, mulai dari wafer, kripik, sampai jeruk sisa yang ada di kulkas.
Kami sudah mulai tenang, lalu kami tertidur dengan alunan takbiran yang disetel dari radio, pelan-pelan dalam hati kamipun menyandungkan itu, aku bisa mendengarnya. Menjelang pukul 3 pagi kemacetan berubah menjadi padat merayap, lumayan ada kemajuan. Kami sampai di Margasari daerah Tegal pukul 6 pagi dan mampir untuk shlat shubuh dan berjamaah shalat idul fitri. Aku merasa shalat id kali ini shalat yang paling ancur, karena aku ngga mandi, apalagi keramas, aku juga ngga pake parfum, boro-boro, aku masih memakai baju yang kemarin sore aku kenakan. Masjid pinggir jalan ini pun dipenuhi pemudik lainnya yang sama seperti kami. Seusai shalat, kami bersalaman meminta maaaf. Aku bersalaman pada mamih, papih, kedua adik aku; azhar, alfin. Namun akungnya peristiwa maaf-maafan itu berlangsung sebentar karena kami semua sama-sama mulai kesal pada jalanan yang macet lagi. Pukul 7 Papih memutuskan untuk membeli bensin karena bensinnya hampir habis, papih pun besungut karena bensin sangat boros terutama karena macet total semalam. Di pom bensin kami menunggu sampai pukul 9 karena operator belum bermunculan, kami semua yang menunggu disitu, yang menunggu 2 jam tadinya hampir hilang kesabaran, beberapa pergi dan tidak jadi, beberapa mengklakson dan diikuti oleh klakson-klakson lanjutan dari mobil lain seolah protes pada keadaan dengan membuat kegaduhan. Kami melanjutkan perjalanan dan terjebak macet lagi, tapi yang ini termasuk lumayan lancar, macet kali ini kami analisa karena banyak juga yang mau bersilaturahmi jarak dekat dengan kendaraan pribadinya.
Papih dan mamih ku punya rumah di desa banjarsari, bersebelahan dengan rumah nenekku. Ketika papih menikahi mamih, tanah itu diberikan oleh kakek dari ibuku sebagai hadiah, lalu dibangunlah rumah oleh papih dan ketika aku kecil aku menghabiskan masa kecilku di rumah ini, ketika aku SMP di Jawa pun aku tinggal di rumah ini. Kami sampai di rumah pukul 11 dan langsung bersalaman dengan kakek dan nenekku, yang lebih akrab kusapa; emak dan bapak. Setelah itu aku bersalaman dengan keluargaku yang lainnya. Dan karena badan sudah lengket dengan bau tidak karuan, aku memutuskan secepatnya mandi lalu shalat dzuhur. Papih bilang akan langsung pergi ke rumah mbah, orangtuanya papih. Sekalian capek katanya. Aku nurut saja. Kami disana sampai sore. Lalu pulang lagi ke rumah dan beristirahat. Hari-hari berikutnya kami habiskan dengan istirahat lalu jalan-jalan, lalu istirahat, lalu jalan-jalan begitu saja berselang-seling.
Ada beberapa hal yang aku ingat, terutama malam terakhir sebelum aku balik ke cikampek, aku sedang tidur-tiduran di ruang tengah dan menonton TV, bersama papih dan tiba-tiba bapak datang dan kami bertiga diajaknya ngobrol sampai larut malam. Mulanya kami sedang menyaksikan acara Just Alvin. Ada satu ustadz aku lupa siapa, beliau membangun musafir center. Beliau bilang hidup di dunia itu cuma perjalanan, maka dari itu kita semua ini hanya seorang musafir di bumi Tuhan. Sebelum kembali ke rumah akhirat kita mengumpulkan banyak bekal untuk dibawa. Dan kami bertiga mengiyakannya. Bapak bilang pada aku entah pada papih, bahwa seharusnya kami yang masih muda ini lebih banyak mengahabiskan waktu dengan melakukan perjalanan, yang akan membuat jiwa kami dewasa dan membuat kita tahu seperti apa diri kita sebenarnya. Bapak merupakan orang yang suka travelling ketika muda, dan itu dia lakukan sambil bekerja. Aku juga kagum, tapi meski begitu dia bilang masih banyak tempat yang ingin dia kunjungi. Hanya saja karena sekarang beliau sudah tua, mungkin dia hanya akan merepotkan emak di perjalanan. Begitulah singkat cerita perjalanan mudik keluarga kami.
Aku berangkat mudik ke Brebes. Kedua orangtua aku berasal dari sana. Uniknya mereka berdua ini memakai bahasa yang berbeda, papih aku yang orang Bumiayu berbahasa Jawa, dan mamih aku orang Bantarkawung berbahasa sunda. Kami sekeluarga berangkat H-1, hari minggu sore pukul 3 dan sampai ke tempat tujuan hari selasa siang pukul 11. Sangat melelahkan, perjalanan macet total ketika pamanukan lalu indramayu dan cirebon, mulai lancar ketika masuk tol palikanci, tapi keluar tol, klonengan dan songgom kami terjebak macet total tidak bisa bergerak sekitar 5 jam.
Saat itu pukul satu pagi, awalnya kami optimis kalau macet akan segera terurai, tapi sampai akhirnya kami melihat satu per satu mobil di depan kami mematikan mesin, kami pun ikutan sekaligus untuk menghemat bensin. Kami mulanya mengobrol, tentang apa saja yang kami lihat di jalanan, mulai dari pedagang asongan, kemungkinan penyebab macet, hingga fenomena tentang mudik ini kami pertanyakan. Dengan pikiran yang merana kami saat itu benar-benar rindu rumah. Mungkin itulah alasan dari semua keletihan ini, ada rindu yang harus dibayar, terutama oleh kedua orangtuaku.
Kami sebenarnya sangat lapar, padahal isya tadi kami berbuka puasa di jalan dengan bekal nasi, lodeh nangka, dan ayam goreng+sambel yang dibawa mamih. Mamih itu orangnya sangat persiapan, mamih juga membawa tikar, termos, kopi, pop mie, sampai kotak P3K. Di bagian belakang mobil pun berdus kue, kaleng khong guan dibawa dan menyesaki. Aku tahu meskipun sekarang aku melihatnya seperti sangat repot, tapi tidak menutup kemungkinan di masa depan aku akan meniru caranya dalam mempersiapkan acara mudik atau bepergian lainnya. Semua yang dijual pedagang asongan dibawa oleh mamih, dan kami tidak terbiasa membeli di luar sepanjang aku mudik dari kecil. Ketika sedang lapar-laparnya kami memakan jajanan yang dibawa mamih, mulai dari wafer, kripik, sampai jeruk sisa yang ada di kulkas.
Kami sudah mulai tenang, lalu kami tertidur dengan alunan takbiran yang disetel dari radio, pelan-pelan dalam hati kamipun menyandungkan itu, aku bisa mendengarnya. Menjelang pukul 3 pagi kemacetan berubah menjadi padat merayap, lumayan ada kemajuan. Kami sampai di Margasari daerah Tegal pukul 6 pagi dan mampir untuk shlat shubuh dan berjamaah shalat idul fitri. Aku merasa shalat id kali ini shalat yang paling ancur, karena aku ngga mandi, apalagi keramas, aku juga ngga pake parfum, boro-boro, aku masih memakai baju yang kemarin sore aku kenakan. Masjid pinggir jalan ini pun dipenuhi pemudik lainnya yang sama seperti kami. Seusai shalat, kami bersalaman meminta maaaf. Aku bersalaman pada mamih, papih, kedua adik aku; azhar, alfin. Namun akungnya peristiwa maaf-maafan itu berlangsung sebentar karena kami semua sama-sama mulai kesal pada jalanan yang macet lagi. Pukul 7 Papih memutuskan untuk membeli bensin karena bensinnya hampir habis, papih pun besungut karena bensin sangat boros terutama karena macet total semalam. Di pom bensin kami menunggu sampai pukul 9 karena operator belum bermunculan, kami semua yang menunggu disitu, yang menunggu 2 jam tadinya hampir hilang kesabaran, beberapa pergi dan tidak jadi, beberapa mengklakson dan diikuti oleh klakson-klakson lanjutan dari mobil lain seolah protes pada keadaan dengan membuat kegaduhan. Kami melanjutkan perjalanan dan terjebak macet lagi, tapi yang ini termasuk lumayan lancar, macet kali ini kami analisa karena banyak juga yang mau bersilaturahmi jarak dekat dengan kendaraan pribadinya.
Papih dan mamih ku punya rumah di desa banjarsari, bersebelahan dengan rumah nenekku. Ketika papih menikahi mamih, tanah itu diberikan oleh kakek dari ibuku sebagai hadiah, lalu dibangunlah rumah oleh papih dan ketika aku kecil aku menghabiskan masa kecilku di rumah ini, ketika aku SMP di Jawa pun aku tinggal di rumah ini. Kami sampai di rumah pukul 11 dan langsung bersalaman dengan kakek dan nenekku, yang lebih akrab kusapa; emak dan bapak. Setelah itu aku bersalaman dengan keluargaku yang lainnya. Dan karena badan sudah lengket dengan bau tidak karuan, aku memutuskan secepatnya mandi lalu shalat dzuhur. Papih bilang akan langsung pergi ke rumah mbah, orangtuanya papih. Sekalian capek katanya. Aku nurut saja. Kami disana sampai sore. Lalu pulang lagi ke rumah dan beristirahat. Hari-hari berikutnya kami habiskan dengan istirahat lalu jalan-jalan, lalu istirahat, lalu jalan-jalan begitu saja berselang-seling.
Ada beberapa hal yang aku ingat, terutama malam terakhir sebelum aku balik ke cikampek, aku sedang tidur-tiduran di ruang tengah dan menonton TV, bersama papih dan tiba-tiba bapak datang dan kami bertiga diajaknya ngobrol sampai larut malam. Mulanya kami sedang menyaksikan acara Just Alvin. Ada satu ustadz aku lupa siapa, beliau membangun musafir center. Beliau bilang hidup di dunia itu cuma perjalanan, maka dari itu kita semua ini hanya seorang musafir di bumi Tuhan. Sebelum kembali ke rumah akhirat kita mengumpulkan banyak bekal untuk dibawa. Dan kami bertiga mengiyakannya. Bapak bilang pada aku entah pada papih, bahwa seharusnya kami yang masih muda ini lebih banyak mengahabiskan waktu dengan melakukan perjalanan, yang akan membuat jiwa kami dewasa dan membuat kita tahu seperti apa diri kita sebenarnya. Bapak merupakan orang yang suka travelling ketika muda, dan itu dia lakukan sambil bekerja. Aku juga kagum, tapi meski begitu dia bilang masih banyak tempat yang ingin dia kunjungi. Hanya saja karena sekarang beliau sudah tua, mungkin dia hanya akan merepotkan emak di perjalanan. Begitulah singkat cerita perjalanan mudik keluarga kami.
Thanks for reading. Ini oleh-oleh buat kamu, hehe.
Comments
Post a Comment