Pertama kali mau PPL, kan ada penerimaan gitu dari sekolah. Jujur aja saya grogi. Siapa sih yang ngga grogi ketemu orang baru dan lingkungan yang asing. Kita pasti mikirin kemungkinan terburuk terjadi duluan ketimbang liat sisi positif nya. Penolakan dari siswa yang mungkin bakal ngga nganggep saya sebagai guru karena muka saya terlalu imut (oke ini kebohongan publik), atau bahkan lebih buruk lagi diusir dari kegiatan PPL di sekolah karena saya ngga punya potongan muka kaya guru. Saya grogi, dari malemnya saya udah buka-buka lemari nyoba-nyobain baju mana yang keliatannya pantes dipake biar keliatan guru. Btw kalau mau PPL tuh asik lagi, bisa punya alesan buat shopping, dan shopping-nya tuh sesuatu yang baru, semacam blazer, sepatu high-heels, dan juga baju batik. Malamnya saya rada susah tidur ngebayangin banyak hal bakal terjadi besok. Saya datang lebih awal, sangat awal untuk seseorang yang hobi telat. Saya ketemu beberapa rekan saya, dan canggung, yahh..pembicaraan basi, tentang “kamu dari jurusan apa?” “gimana dosen pembimbing kamu bakal dateng ngga?” “kosannya dimana?”... and boring..boring...boring..... Kita harus nerima kalau menjadi bagian dari masyarakat kadang dimulai dengan menjadi orang yang membosankan, seperti orang yang udah kelamaan idup karena minum ramuan elixir of life. :P
Ada hal yang lucu pas awal masuk. Kami, mahasiswa PPL ini menunggu di depan sekolah saat akan penerimaan, ada beberapa yang didampingi dosen. Kami semua memakai jas almamater saat itu. Jadi begini....tersebutlah dua orang pria. Pria pertama wajahnya sudah tua, rambutnya sengaja dibiarkan putih untuk memperlihatkan berapa lama dia telah tinggal di bumi, giginya beberapa ompong, dan entah bagaimana saya merasa dia seorang perokok, dan saya kebingungan apakah rokoknya akan terselip di sela giginya itu. Haha. Sudah saya pastikan dengan segenap hati bahwa pria ini pastinya salah satu dosen dari rekan saya yang akan menghadiri penerimaan PPL. Pria kedua wajahnya jelas lebih muda, tapi juga tua, umurnya saya taksir mungkin 30taun. Mereka berdua memakai kemeja dan celana bahan berwarna gelap. Mereka tampak beberapa kali terlibat percakapan namun diikuti oleh senyum awkward, karena pria pertama melirik jam. Mereka berdua pasti dosen. Kemudian kita semua entah siapa yang mendahului mulai bersalaman dengan kedua pria ini, sebagaimana salaman umumnya, kami bersalaman dengan menegaskan hubungan antara dosen dan mahasiswa, salim cium tangan, ngga sih, cuma nempel ke deket muka-sekitar hidung-sekitar situlah. Tak lama kemudian ternyata pria kedua mengeluarkan jaster dari tasnya, dan memakainya. YA AMPUN. Ternyata dia adalah salah satu rekan kami, sialan. Euh salahin mukanya yang ketuaan. Ketika kami sudah dekat beberapa minggu kemudian. Pria ini yang akrab disapa Bang Krisda ini akhirnya mengungkit kejadian itu, “eh siapa sih yang dulu pas penerimaan nyangkain saya tuh dosen, masa salimnya cium tangan gitu ke saya”, ujar Bang Krisda dengan muka anak kolot dan terdampar PPL. “Saya Bang. Itu tuh hari yang pengen saya lupain Bang. Masa hari pertama, baru penerimaan saya uda sial. Muka Abang sih ketuaan, jadi aja disangkain dosen. Untung ngga saya sendirian aja yang salim haha”, timpal saya dengan muka so muda dan merasa pantas sedang PPL. “Lah berarti muka saya tuh muka dosen ya. Emang sih saya tuh uda cocok jadi dosen”. Disusul dengan muntah berjamaah. Kalau diinget lagi, itu tuh konyol banget, salim cium tangan sama temen sendiri karena mukanya terlalu tua untuk jadi temen. Heu..
Di hari pertama ketemu sama guru pamong, saya jadi inget sama Bu Sumarsih yang namanya disingkat menjadi Bu SMS, saya melihat terdapat kesamaan antara Bu SMS dan Ibu pamong saya. Mereka Jawa, wajah Jawa, mulut medok, tegas, dan hobi memberikan pesan moral dengan sarkas yang unik. Ibu pamong saya bernama Ibu Cholifah (baca : Kholifah). Kelak saya mengetahui bahwa anak-anak memanggilnya Bu Coli, dan mereka tersenyum kotor setelahnya. Bisa dibilang Ibu pamong saya orangnya normal dan mengikuti manual book untuk semua guru Jawa, tegas disiplin dan rajin. Saya yang half-Java menerima itu dengan half-hearted, karena itu artinya kita harus banyak kerja keras untuk memenuhi ekspektasinya yang tinggi. Kenapa tinggi? Soalnya beliau ini merupakan guru veteran SMA 5, SMA yang sangat baik reputasinya di Bandung. Dosen pembimbing saya, Bu Hernani, ternyata merupakan salah satu dari murid beliau. Guru kimia harusnya bangga saat muridnya ternyata menjadi ketua jurusan kimia di suatu universitas. Beliau pun berkata dengan bangga, “Dulu tuh dia murid Ibu, sekarang udah jadi doktor kan ya..”, sambil hati “murid gueee tuhhh, siapa dulu dong guru kimianya HAHAHAHA”. Setelah percakapan ini, kelak saya akan mengerti bahwa hubungan guru dengan murid diantara mereka tidak berubah meski gelar murid lebih tinggi dari gurunya. Hal ini terbukti saat saya bimbingan dengan Bu Hernani, beliau berkata “Udahh turutin aja apa mau Ibu Cholifah” sambil dalam hati “Itu guru gw, jangan ngelawan sama dia, kalo lo ngelawan sama dia, sama aja lo ngelawan sama gw. Ini gelar doktor gw, terimakasih sama dia, kalau ngga ada dia mungkin gw jadi ketua jurusan lain”. Saat itulah saya yakin, bahwa PPL ini bakal berat. Saya ketemu sama Ibu Pamong dan Ibu Dosen Pembimbing, yang mana kaya saya ketemu seorang ibu mertua dan ibunya ibu mertua.
Bu Choli dan Bu Her merupakan dua orang yang banyak jasanya bagi perkembangan saya meniti karir. Bu Choli memberikan anak-anaknya untuk menjadi anak-anak pertama saya. Bu Her memberikan waktunya untuk memberi saran menjadi Ibu yang baik. Tentu saja mereka berdua Ibu yang baik. Saya sangat bersyukur dipertemukan dengan dua orang Ibu yang hebat.
Seingat saya mereka berdua punya kesamaan yang sangat menonjol : profesional. Bu Choli dan Bu Her ternyata juga manusia biasa (walaupun mereka mempunyai kekuatan super : mengajar kimia), mereka sempat sakit dan tetap datang di saat mereka harus datang dan meminta maaf karena nada suaranya menjadi lebih kecil dan menutup separuh mukanya dengan penuh percaya diri tidak akan menularkan satu biji bakteripun. Saya senang sekali, bukan karena mereka sakit, tapi karena mereka tidak berniat menulari saya penyakitnya. HAHA. :D
Saya akan mengingat apa kata Bu Choli tentang bagaimana bersikap pada rekan, lebih baik kita yang tersakiti daripada kita yang menyakiti, kalau mau menyakiti sakitilah dengan cara yang paling benar. Beliau ini pernah mengalami kejadian ribet, yaitu saat wali kelas sebelumnya salah menulis di rapot muridnya dan men-tip-ex-i nya. “Rapor itu tidak boleh di tip ex in, harus benar-benar bersih dari noda. Karena ini tuh dokumen penting yang dibawa sampai nanti mau kemana aja, masa ada tip ex nya. Saya ini uda bilang ke Ibu Kepsek untuk bilangin ke guru yang bersangkutan, kalau saya bilang langsung ya berarti saya nyinggung perasaan dia dong. Saya kan ngga punya hak disini. Tapi justru malah saya yang harus nulis ulang. Ck”, keluhnya pada kami. Saya juga akan mengingat bagaimana seorang guru harus berbohong demi kebaikan. Bukan rahasia umum bahwa guru harus dongkrak nilai siswa dengan tipu-daya-muslihat-yang hanya konspirasi semesta dan do’a anak SMA teraniaya yang mampu mewujudkannya. Nilai anak yang 30 atau 40, harus minimal ada di KKM yang nilainya 80. Kalau yang nilainya 30 aja jadi 80, gimana yang nilainya 90? Mau diubah juga supaya jadi 140 gitu? Ini ngga adil kan. Ya kita ngga usah belajar aja nanti pun dapet 80. Belajar jadi suatu kata yang ngga tau apa arti dan tujuannya, karena pendidikan sudah menjadi kebohongan. Bu Choli tidak pernah mengatakan fakta ini dan berkata di depan kelas dengan sangat nyata, “Kalau nanti kalian ulangan nilainya 30, Ibu bakal tulis 30, Ibu ngga mau tahu itu hasil kalian, makanya belajar yang sungguh-sungguh supaya tidak ada nilai seperti itu di rapot kalian”, ujar Bu Choli setengah mengancam dan setengah berbohong dengan nada mengancam. Bu Choli bilang dia ingin semua anaknya belajar dengan serius dan tidak mengandalkan sistem pendidikan kebohongan ini. Saya tersenyum karena mulai merasa sehati.
Di akhir masa PPL saya menemukan Bu Choli berbicara dalam bahasa Jawa dengan rekan kerjanya dan mendadak suasana kantor guru terlihat seperti di Kerajaan Sriwijaya dengan Kakang Prabu dan Raden Ajeng berkeliaran menggunakan pakaian modern. Saya juga diajak membicarakan UGB (tahun 2020 mungkin saya akan lupa singkatan apa itu UGB, oke, aang tahun 2020, UGB adalah Ustad Guntur Bumi). Ugb ini masuk acara gosip karena jadi ustadz yang ngga ustadz banget kelakuannya. Pagi itu hari rabu, saya menyerahkan laporan PPL sebagai syarat ujian PPL, beliau berkata “tadi pagi saya liat berita tentang UGB tuh ya ampun ternyata istrinya juga udah tahu.. kok mau-maunya ya. Saya mah kalau udah tahu ya ngga mau dong ngasih makan anak-anak saya pakai uang haram.....(ini berlanjut sampai ngobrolin Asmirandah yang ceramah masuk kristen). Saat itulah saya sadar kalau saya baru aja mengalami menjadi diri saya yang lain, seorang ibu-ibu yang bisa diajak ngobrol sama ibu-ibu lain tentang apa aja dan jadi asik sendiri.
Saya juga punya sekitar 28 temen baru. Ngga semuanya bisa jadi temen deket karena PPL kan cuma event 6 bulan, kalau 6 bulan sudah berlalu saya yakin ada beberapa orang temen yang ngga akan pernah ketemu lagi setelah acara perpisahan berlangsung. Mereka seru sih, hmmmm, ngga semua, ada juga yang jarang banget ngumpul, jarang ngobrol atau jarang ketemu karena beda jadwal. Yapp, saya ngga akan nulis tentang rekan saya dan juga murid saya. Karena mereka semua bakal saya ingat dengan baik sebagai rekan kerja pertama dan murid–murid pertama saya.
Kesimpulannya : Makin ngerti kalau sebagai calon guru masa depan saya masih terus harus belajar, karena masih banyak banget hal yang keren yang bisa terjadi kalau aja saya bisa jadi guru teladan yang menelurkan murid dengan gelar lebih tinggi dari saya.
Fun Fact About PPL :
1. Bisa liat Bu Trie-laboran lab PBM yang terkenal jutek dan hampir menyulut murka mahasiswa yang baik hati kaya gw- senyum keibuan ke anak kecil dan peduli banget ke anak kecil tersebut karena ada sebuah kabel terbentang dan Bu Trie ini khawatir si anak kesandung dan jatuh. Amazing bro. Ngga pernah ada mahasiswa lihat dia senyum, ngomong biasa aja dia kaya monyong-monyong gitu, beuuhhhh... apakah ini yang disebut keajaiban
2. Bilang kata “gw” di depan murid dan mereka cool aja dengan hal itu. Curhat kalau guru matematika mereka ganteng, berujung ledek-ledekan sama mereka. Ngobrolin anime, film, dan stupid stuff bareng murid. Totally awesome student.That’s my kids!
3. Anime nambah, HD keisi. Hello... we’re teacher that also an otaku! Makasih Bang Kris, Bah Fajar, Mas Amir, De Intan (Intan is my very bestfriend)
4. Saya nemu jus enak di deket SMP. Baso ikan depan SMA enak. Harus dicoba lagi nanti!
Ada hal yang lucu pas awal masuk. Kami, mahasiswa PPL ini menunggu di depan sekolah saat akan penerimaan, ada beberapa yang didampingi dosen. Kami semua memakai jas almamater saat itu. Jadi begini....tersebutlah dua orang pria. Pria pertama wajahnya sudah tua, rambutnya sengaja dibiarkan putih untuk memperlihatkan berapa lama dia telah tinggal di bumi, giginya beberapa ompong, dan entah bagaimana saya merasa dia seorang perokok, dan saya kebingungan apakah rokoknya akan terselip di sela giginya itu. Haha. Sudah saya pastikan dengan segenap hati bahwa pria ini pastinya salah satu dosen dari rekan saya yang akan menghadiri penerimaan PPL. Pria kedua wajahnya jelas lebih muda, tapi juga tua, umurnya saya taksir mungkin 30taun. Mereka berdua memakai kemeja dan celana bahan berwarna gelap. Mereka tampak beberapa kali terlibat percakapan namun diikuti oleh senyum awkward, karena pria pertama melirik jam. Mereka berdua pasti dosen. Kemudian kita semua entah siapa yang mendahului mulai bersalaman dengan kedua pria ini, sebagaimana salaman umumnya, kami bersalaman dengan menegaskan hubungan antara dosen dan mahasiswa, salim cium tangan, ngga sih, cuma nempel ke deket muka-sekitar hidung-sekitar situlah. Tak lama kemudian ternyata pria kedua mengeluarkan jaster dari tasnya, dan memakainya. YA AMPUN. Ternyata dia adalah salah satu rekan kami, sialan. Euh salahin mukanya yang ketuaan. Ketika kami sudah dekat beberapa minggu kemudian. Pria ini yang akrab disapa Bang Krisda ini akhirnya mengungkit kejadian itu, “eh siapa sih yang dulu pas penerimaan nyangkain saya tuh dosen, masa salimnya cium tangan gitu ke saya”, ujar Bang Krisda dengan muka anak kolot dan terdampar PPL. “Saya Bang. Itu tuh hari yang pengen saya lupain Bang. Masa hari pertama, baru penerimaan saya uda sial. Muka Abang sih ketuaan, jadi aja disangkain dosen. Untung ngga saya sendirian aja yang salim haha”, timpal saya dengan muka so muda dan merasa pantas sedang PPL. “Lah berarti muka saya tuh muka dosen ya. Emang sih saya tuh uda cocok jadi dosen”. Disusul dengan muntah berjamaah. Kalau diinget lagi, itu tuh konyol banget, salim cium tangan sama temen sendiri karena mukanya terlalu tua untuk jadi temen. Heu..
Di hari pertama ketemu sama guru pamong, saya jadi inget sama Bu Sumarsih yang namanya disingkat menjadi Bu SMS, saya melihat terdapat kesamaan antara Bu SMS dan Ibu pamong saya. Mereka Jawa, wajah Jawa, mulut medok, tegas, dan hobi memberikan pesan moral dengan sarkas yang unik. Ibu pamong saya bernama Ibu Cholifah (baca : Kholifah). Kelak saya mengetahui bahwa anak-anak memanggilnya Bu Coli, dan mereka tersenyum kotor setelahnya. Bisa dibilang Ibu pamong saya orangnya normal dan mengikuti manual book untuk semua guru Jawa, tegas disiplin dan rajin. Saya yang half-Java menerima itu dengan half-hearted, karena itu artinya kita harus banyak kerja keras untuk memenuhi ekspektasinya yang tinggi. Kenapa tinggi? Soalnya beliau ini merupakan guru veteran SMA 5, SMA yang sangat baik reputasinya di Bandung. Dosen pembimbing saya, Bu Hernani, ternyata merupakan salah satu dari murid beliau. Guru kimia harusnya bangga saat muridnya ternyata menjadi ketua jurusan kimia di suatu universitas. Beliau pun berkata dengan bangga, “Dulu tuh dia murid Ibu, sekarang udah jadi doktor kan ya..”, sambil hati “murid gueee tuhhh, siapa dulu dong guru kimianya HAHAHAHA”. Setelah percakapan ini, kelak saya akan mengerti bahwa hubungan guru dengan murid diantara mereka tidak berubah meski gelar murid lebih tinggi dari gurunya. Hal ini terbukti saat saya bimbingan dengan Bu Hernani, beliau berkata “Udahh turutin aja apa mau Ibu Cholifah” sambil dalam hati “Itu guru gw, jangan ngelawan sama dia, kalo lo ngelawan sama dia, sama aja lo ngelawan sama gw. Ini gelar doktor gw, terimakasih sama dia, kalau ngga ada dia mungkin gw jadi ketua jurusan lain”. Saat itulah saya yakin, bahwa PPL ini bakal berat. Saya ketemu sama Ibu Pamong dan Ibu Dosen Pembimbing, yang mana kaya saya ketemu seorang ibu mertua dan ibunya ibu mertua.
Bu Choli dan Bu Her merupakan dua orang yang banyak jasanya bagi perkembangan saya meniti karir. Bu Choli memberikan anak-anaknya untuk menjadi anak-anak pertama saya. Bu Her memberikan waktunya untuk memberi saran menjadi Ibu yang baik. Tentu saja mereka berdua Ibu yang baik. Saya sangat bersyukur dipertemukan dengan dua orang Ibu yang hebat.
Seingat saya mereka berdua punya kesamaan yang sangat menonjol : profesional. Bu Choli dan Bu Her ternyata juga manusia biasa (walaupun mereka mempunyai kekuatan super : mengajar kimia), mereka sempat sakit dan tetap datang di saat mereka harus datang dan meminta maaf karena nada suaranya menjadi lebih kecil dan menutup separuh mukanya dengan penuh percaya diri tidak akan menularkan satu biji bakteripun. Saya senang sekali, bukan karena mereka sakit, tapi karena mereka tidak berniat menulari saya penyakitnya. HAHA. :D
Saya akan mengingat apa kata Bu Choli tentang bagaimana bersikap pada rekan, lebih baik kita yang tersakiti daripada kita yang menyakiti, kalau mau menyakiti sakitilah dengan cara yang paling benar. Beliau ini pernah mengalami kejadian ribet, yaitu saat wali kelas sebelumnya salah menulis di rapot muridnya dan men-tip-ex-i nya. “Rapor itu tidak boleh di tip ex in, harus benar-benar bersih dari noda. Karena ini tuh dokumen penting yang dibawa sampai nanti mau kemana aja, masa ada tip ex nya. Saya ini uda bilang ke Ibu Kepsek untuk bilangin ke guru yang bersangkutan, kalau saya bilang langsung ya berarti saya nyinggung perasaan dia dong. Saya kan ngga punya hak disini. Tapi justru malah saya yang harus nulis ulang. Ck”, keluhnya pada kami. Saya juga akan mengingat bagaimana seorang guru harus berbohong demi kebaikan. Bukan rahasia umum bahwa guru harus dongkrak nilai siswa dengan tipu-daya-muslihat-yang hanya konspirasi semesta dan do’a anak SMA teraniaya yang mampu mewujudkannya. Nilai anak yang 30 atau 40, harus minimal ada di KKM yang nilainya 80. Kalau yang nilainya 30 aja jadi 80, gimana yang nilainya 90? Mau diubah juga supaya jadi 140 gitu? Ini ngga adil kan. Ya kita ngga usah belajar aja nanti pun dapet 80. Belajar jadi suatu kata yang ngga tau apa arti dan tujuannya, karena pendidikan sudah menjadi kebohongan. Bu Choli tidak pernah mengatakan fakta ini dan berkata di depan kelas dengan sangat nyata, “Kalau nanti kalian ulangan nilainya 30, Ibu bakal tulis 30, Ibu ngga mau tahu itu hasil kalian, makanya belajar yang sungguh-sungguh supaya tidak ada nilai seperti itu di rapot kalian”, ujar Bu Choli setengah mengancam dan setengah berbohong dengan nada mengancam. Bu Choli bilang dia ingin semua anaknya belajar dengan serius dan tidak mengandalkan sistem pendidikan kebohongan ini. Saya tersenyum karena mulai merasa sehati.
Di akhir masa PPL saya menemukan Bu Choli berbicara dalam bahasa Jawa dengan rekan kerjanya dan mendadak suasana kantor guru terlihat seperti di Kerajaan Sriwijaya dengan Kakang Prabu dan Raden Ajeng berkeliaran menggunakan pakaian modern. Saya juga diajak membicarakan UGB (tahun 2020 mungkin saya akan lupa singkatan apa itu UGB, oke, aang tahun 2020, UGB adalah Ustad Guntur Bumi). Ugb ini masuk acara gosip karena jadi ustadz yang ngga ustadz banget kelakuannya. Pagi itu hari rabu, saya menyerahkan laporan PPL sebagai syarat ujian PPL, beliau berkata “tadi pagi saya liat berita tentang UGB tuh ya ampun ternyata istrinya juga udah tahu.. kok mau-maunya ya. Saya mah kalau udah tahu ya ngga mau dong ngasih makan anak-anak saya pakai uang haram.....(ini berlanjut sampai ngobrolin Asmirandah yang ceramah masuk kristen). Saat itulah saya sadar kalau saya baru aja mengalami menjadi diri saya yang lain, seorang ibu-ibu yang bisa diajak ngobrol sama ibu-ibu lain tentang apa aja dan jadi asik sendiri.
Saya juga punya sekitar 28 temen baru. Ngga semuanya bisa jadi temen deket karena PPL kan cuma event 6 bulan, kalau 6 bulan sudah berlalu saya yakin ada beberapa orang temen yang ngga akan pernah ketemu lagi setelah acara perpisahan berlangsung. Mereka seru sih, hmmmm, ngga semua, ada juga yang jarang banget ngumpul, jarang ngobrol atau jarang ketemu karena beda jadwal. Yapp, saya ngga akan nulis tentang rekan saya dan juga murid saya. Karena mereka semua bakal saya ingat dengan baik sebagai rekan kerja pertama dan murid–murid pertama saya.
Kesimpulannya : Makin ngerti kalau sebagai calon guru masa depan saya masih terus harus belajar, karena masih banyak banget hal yang keren yang bisa terjadi kalau aja saya bisa jadi guru teladan yang menelurkan murid dengan gelar lebih tinggi dari saya.
Fun Fact About PPL :
1. Bisa liat Bu Trie-laboran lab PBM yang terkenal jutek dan hampir menyulut murka mahasiswa yang baik hati kaya gw- senyum keibuan ke anak kecil dan peduli banget ke anak kecil tersebut karena ada sebuah kabel terbentang dan Bu Trie ini khawatir si anak kesandung dan jatuh. Amazing bro. Ngga pernah ada mahasiswa lihat dia senyum, ngomong biasa aja dia kaya monyong-monyong gitu, beuuhhhh... apakah ini yang disebut keajaiban
2. Bilang kata “gw” di depan murid dan mereka cool aja dengan hal itu. Curhat kalau guru matematika mereka ganteng, berujung ledek-ledekan sama mereka. Ngobrolin anime, film, dan stupid stuff bareng murid. Totally awesome student.That’s my kids!
3. Anime nambah, HD keisi. Hello... we’re teacher that also an otaku! Makasih Bang Kris, Bah Fajar, Mas Amir, De Intan (Intan is my very bestfriend)
4. Saya nemu jus enak di deket SMP. Baso ikan depan SMA enak. Harus dicoba lagi nanti!
Comments
Post a Comment