6 November 2013 lalu menjadi hari
yang tidak akan aku lupakan gitu aja. Hari itu aku tampil simulasi, ngajar di
depan temen-temen. Sebenernya biasa aja, tapi entah kenapa deg-degan. Bahkan
dua hari sebelum itu aku berusaha sekuat tenaga menenangkan diri, nggak lupa
juga aku makan makanan yang bergizi dan mencukupi kebutuhan tidur supaya pas
hari H ngga kuyu-kuyu amat kaya abis jadi romusha
gitu, kan nggak banget.
Mata kuliah ini sebenernya unik
karena ngga penting-penting banget buat ada tapi kalau ngga ada justru
menghilangkan identitas kampus sebagai kampus pendidikan. Jadi guru tuh gampang
kalau niat dan sabar. Sedangkan aku niat masih setengah-setengah, sabar juga
maksain. Nama mata kuliahnya Simulasi Pembelajaran Kimia. Salut sih sama orang
yang mengusung mata kuliah ini, aku yakin itu orang peduli banget sama
pembelajaran, kalau ngga mau dibilang perfeksionis.
Dari kelas pendidikan dibagi jadi
beberapa kelas, per kelas 17 orang dengan dua orang dosen. Dua orang dosen ini
karakternya agak berkepribadian ganda gitu, awalnya mereka jadi dosen
pembimbing terus jadi dosen penguji.
Menyambut kurikulum 2013 yang menggunakan pendekatan saintis sebagai
dasar pembelajaran, kita juga dibekali bagaimana memasak kurikulum menjadi
produk yang bisa disajikan di kelas.
Awalnya simpel, tapi perlu dibegadangin dan ditelatenin juga. Kita menyusun
RPP, semacam rencana mau ngapain aja di kelas, mulai dari acara ngetok pintu
kelas terus ngucapin salam, masuk kelas, nanya kabar, ngabsen, sampe ngucapin
salam penutup ditulis disitu. Makanya di kemudian hari aku ngerasa simulasi tuh
agak mirip sama drama pertunjukan gitu, dimana RPP jadi skenarionya, dan guru
jadi aktris pemeran utama dengan murid sebagai figuran, haha.
RPP tadi juga harus kita
konsultasikan dulu ke dosen pembimbing, biar ngga banyak berkembang skenario
kreatif yang melenceng dari jalan kebenaran. Aku ngerasa ini kaya bimbingan
kehidupan, dosen yang selama ini ketemuan bareng sama 40 orang mahasiswa
lainnya di kelas, sekarang cuma berdua atau bertiga aja dan itu bisa ngobrol
nyantai ngalor ngidul kaya di warung kopi. Dari situ aku banyak nemuin hal
baru. Oiya, dua dosen pembimbing aku : Pak Wawan dan Pak Asep.
Pernah suatu ketika aku bimbingan
bareng Pak Wawan di suatu ruangan kelas. Beliau nampaknya sedang buru-buru
karena terus merhatiin jam tangannya, meski begitu beliau tetep profesional dan
mengoreksi beberapa kesalahan yang ada di RPPku. Setelah hampir selesai beliau
pamit pergi, satu hal......tas nya ketinggalan di kelas itu. Aku segera menyadarinya
lantas mengejar beliau dan beliau sambil terkekeh beralasan “Aduh, bapak tuh
sering banget lupa kaya gini nih. Lupa kalau bawa tas sampe-sampe ketinggalan
gini..” . Ada-ada aja, jarang-jarang kan dosen nunjukkin sisi manusiawinya.
Kalau masih tas doang sih wajar, gimana kalau ternyata abis itu Pak Wawan lupa
kalau dia bawa mobil dan dia jalan kaki gara-gara lupa. Hilang tuh kharisma
kedosenan.
Lain waktu juga pernah lagi
mampir bimbingan di ruangan Pak Asep, dan
bimbingan dihentikan sejenak gara-gara ternyata ruangannya Pak Asep
pintunya rusak, ngga bisa dikunci dan terjadi beberapa masalah teknis lainnya
yang ngga rasional. Kunci pintunya ngga bisa ngebuka pintu tersebut, awalnya
aku berhipotesis paling kuncinya ketuker, ternyata setelah beberapa teknisi
ngotak-ngatik yang salah justru pintunya yang agak rusak. Satu kunci diciptakan
hanya untuk satu lobang pintu, kalau salah satunya rusak keduanya jadi ngga
berguna satu sama lain, tiba-tiba aku jadi bijak karena melihat adegan barusan.
Bisa dikaitkan ke konsep berpasangan. Aneh aja, tindakan apa yang dilakukan Pak
Asep sehingga pintunya rusak dari dalam dan tampak baik-baik saja di permukaan,
misteri yang sulit dipecahkan.
Setelah RPP siap untuk
dipentaskan, tanggalnya sudah disebutkan di awal, aku tampil simulasi. Dari
mahasiswa, dua orang ada yang bertugas untuk mengomentari. Hari itu aku
membawakan materi tata nama senyawa poliatomik, materinya cukup abstrak untuk
mampu mengimbangi tindakan ilmiah yang jadi kegiatan inti pembelajaran.
Penampil pertama adalah sahabat
dekatku sendiri yaitu Widya. Aku penampil kedua. Saat Widya tampil, yang aku
lakukan adalah berusaha menyembunyikan kegugupanku sambil menghapal langkah
pembelajaran. Aku berkata kepada diriku sendiri, “jangan sampai ada yang terlewat,
jangan sampai aku kelamaan, jangan panik, harus nyantai”. Waktu maksimum untuk
tampil hanya 30 menit, terlalu sebentar untuk kehidupan nyata, terlalu lama
untuk seseorang yang sedang panik.
Setelah Widya selesai, kita
sampai dibagian mengomentari, baik itu dari mahasiswa maupun dari dosen. Saat
itu yang mengomentari adalah Dega dan Trianisa, dosen yang hadir hanya Pak Asep
karena Pak Wawan sedang studi komparasi ke Malaysia. Sangat disayangkan, karena
pendapat emas Pak Wawan tidak aku dapatkan hari itu.
Aku tampil sesuai rencana dan
mempercepat tempo mengajar karena ingin tepat waktu. Di sesi akhir, aku
mengadakan games, berupa match card,
mainnya kaya main gaple, nyocokin nama senyawa dan rumus kimianya. Media
pembelajaran ini menyita banyak waktu tidur, dan itulah sebabnya beberapa hari
sebelum tampil aku memanjakan diri dengan menunaikan hak tidur sebagai manusia
normal.
Gamesnya berjalan lancar meski efek sampingnya aku jadi haus
banget. Ngga kebayang cuma kaya gini aja stressnya
dua minggu, dan stamina terkuras abis kaya mau latihan buat porseni. Tapi semuanya
terbayar karena abis tampil langkah kaki terasa lebih ringan dan bernafas jadi
terasa lebih nyaman.
Setelah kegiatan penutup, dan
mengucap salam, aku dikomentari. Tanpa mereka komentari, aku mencoba mengoreksi
diriku sendiri. Dalam pikiranku, aku mengingat bagaimana gaya mengajar Pak
Wawan yang bisa dikatakan high class.
Sebagai guru pemula, aku merenung dan menemukan beberapa kekurangan teknis.
Pertama penggunaan papan tulis yang kurang bijak karena beberapa poin penting
tidak ditulis, salah satunya contoh-contoh senyawa dan namanya. Kedua adalah
penguasaan kelas yang tidak stabil, biasanya Pak Wawan mengendalikan mata kita
untuk selalu tertuju padanya dengan mondar-mandir ke kanan dan ke kiri seperti
setrikaan, aku sedikit saja meniru tapi ternyata sulit karena belum terbiasa.
Ketiga adalah etika guru membiasakan bahasa baku, dalam prakteknya aku justru keceletot
lidah dan memanggil muridku dengan “teman-teman..” padahal seharusnya
“anak-anak...”, kesalahan fatal, mereka pun tidak sadar karena kejadiannya
sangat singkat, mungkin sepersekian detik. Yah.. begitulah. Tidak ada guru
ideal lahir dari mengajar satu hari, hari ini hanya pembelajaran untuk
melahirkan guru ideal yang sesungguhnya.
Hmm.. setelah tampil simulasi
hidupku jadi lebih bahagia, haha. Itu bukan karena aku telah melaluinya, tapi
karena aku mendapatkan pengalaman baru yang berharga untuk kukenang.
Comments
Post a Comment