Saat di bangku sekolah dulu saya
belum jeli dengan hal berbau keguruan. Saya cuek saja dengan bagaimana guru
mengajari saya. Sekarang saat saya masuk jurusan berembel-embel ‘pendidikan’
saya mulai membandingkan banyak sekali guru yang pernah mengajari saya dari SD
hingga SMA. Ada guru yang mampu mendidik sesuai yang
diharapkan pemerintah atau guru yang
mendidik sesuai yang diinginkan dirinya sendiri. Saya menganalisa mereka
karena saya butuh figur panutan ketika kelak saya mengajar. Hanya sedikit ingin
mencontoh mereka yang baik.
Disini saya ingin mengurai
beberapa guru yang dalam analisa saya termasuk layak dicontoh. Saya
menghabiskan 6tahun masa sekolah dasar di MI Al-Murtadlo Cikampek. Pertama kali
saya masuk, sekolah ini baru dibentuk, saya merupakan angkatan pertama. Guru SD
yang saya sukai adalah Pak Harpandi, guru matematika juga IPA. Beliau sangat
ramah, selalu memuji siswa yang bisa mengerjakan soalnya, ciri khas beliau
adalah beliau meminta muridnya untuk pura-pura menjadi guru dan membiarkan kita
berbicara di depan kelas, lalu beliau akan mendengarkan apapun yang kita
katakan tanpa mencelanya sedikitpun. Hal ini sangat baik untuk siswa sekolah
dasar untuk melatih keberanian berbicara di muka umum sendirian, apalagi yang
dibicarakan adalah hal penting dan semua orang yang mendengarkan adalah orang
yang kita kenali. Dengan begini, siswa
terpupuk rasa percaya dirinya dan mentalnya mulai terbentuk. Guru SD mempunyai
peranan penting untuk memberikan modal dasar, untuk membuat siswanya paham
kalau berbicara itu merupakan proses belajar juga. Saya mengingat beberapa
teman saya yang pemalu, untuk sekedar bertanya saja kadang kita menyuruh teman.
Itulah.. karena kurang modal.
Di SMP saya punya banyak guru
favorit, saya SMP di SMP 1 Bumiayu. Saya sempat mengalami shock budaya karena perbedaan bahasa keseharian yang digunakan
antar siswa adalah bahasa Jawa, tapi lambat laun saya juga menguasai bahasa
Jawa. Walaupun pada awalnya apabila ada
guru yang melawak dalam bahasa daerah itu, saya tidak pernah tertawa karena
tidak mengerti dimana lucunya. Guru biologi Bu Nuning, guru matematika Pak
Tugimin, guru agama Pak Suedi, dan guru les saya Pak Yoyo yang merupakan guru
matematika SMP 1 Bantarkawung. Satu hal yang menjadikan mereka favorit adalah
mereka mengajar dengan jelas, apa yang mereka ingin sampaikan pada saya
tersampaikan dengan baik. Kepribadian mereka pun seperti para priyayi, mungkin
saat itu belum booming kurikulum
pendidikan berkarakter, tapi mereka sudah berusaha menyisipkan karakter itu
dengan membuat dirinya berkarakter. Tata krama pun menjadi bagian dari
pengajaran.
Saya suka guru yang selalu
berwajah ramah, itu indikator beliau akan membalas senyuman dan sapaan saya.
Semua guru di SMP saya seperti itu, tak ada satupun yang berwajah judes. Ada
sih satu, beliau mengajar fisika, namanya Pak Mentasno. Beliau menundukkan kami
dengan kharismanya, anggap saja begitu. Sosok guru di Jawa memang mempunyai keteladanan
personalitas yang terpancar pada wajah, tutur ucap dan perilakunya. Istilah
kerennya manner, dan mereka tergolong
dalam well mannered. Menurut saya,
kalau mau menerapkan pendidikan berkarakter, kita harus banyak belajar dari
guru Jawa yang berkarakter. Entah kenapa, mereka tidak berusaha ramah seperti
terhadap teman, tapi mereka benar-benar menganggap kita anaknya dan profesional
terhadap kendali perasaannya. Tidak marah dengan sembarangan dan tidak juga
mengumbar sikap memanjakan so baik.
Hmm, yang paling berkesan dan
saya mencantumkannya adalah Pak Yoyo, beliau ini selalu seperti memberikan
ceramah di penghujung les kami. Mungkin ini sama dengan materi pengayaan yang
diusung kurikulum 2013. Ceramah tersebut berkisar mengenai kehidupan religius
dan sosial yang dikaitkan dengan pembelajaran yang telah dilalui. Yang masih
saya ingat sampai sekarang adalah beliau mengibaratkan Al-Qur’an itu sebagai
surat cinta dari kekasih kita, Allah SWT. Seharusnya ketika kita membacanya
kita akan merasa senang, dan kita merasa seolah kita ingin membacanya
terus-menerus. Hal itu terus terpatri dalam memori jangka panjang saya, karena
saya tidak saja mendengarkannya, tapi sampai pada tahapan mengahayatinya. Guru
yang seperti ini tidak banyak ditemukan, karena saya yakin kalau tidak cukup
pintar mengemasnya, siswa malah merasa bosan dan mengantuk. Hmmm. Betapa
sulitnya jadi guru.
Pada waktu saya SMA, sepertinya
saya sedang sial karena banyak guru yang berorientasi seperti “yang penting
saya mengajar, terserah siswa mengerti atau tidak”. Saya menjalani SMA di SMA 1
Cikampek. Teman-teman saya kebanyakan mempunyai teman yang mereka kenal, yang
kebanyakan berasal dari SMP yang sama juga. Sedangkan saya sendirian sekali
pada waktu itu. Jadi saya harus mengerahkan kemampuan saya untuk beradaptasi
lagi.
Guru-guru yang senior disini
merupakan guru yang berkualitas bagus, saya suka itu. Mulai dari guru matematika,
Bu Parti, Pak Dul Maryono (mereka orang Jawa loh, dan mempunyai aura Jawa yang
kental), guru kimia Bu Wiwin dan Bu Any, guru fisika Bu Nunuy.
Bu Parti dan Pak Dul tipikal
penyabar dalam menghadapi siswa, kalau kami tidak mengerti beliau akan mengulanginya
sampai kami mengerti. Tidak pernah marah sedikitpun. Bu Wiwin dan Bu Any
mengajar dengan jelas, kadang mereka kesal kalau kita tidak mengerti dan
menjelaskan ulang dengan nada lebih kencang. Tapi hal itu dimungkinkan karena
mereka mengejar untuk menyelesaikan apa yang sudah tertuang dalam RPP, dan
alokasi waktu yang mepet. Bahkan satu bab terakhir tidak sempat dijelaskan dan
hanya menyuruh kami membacanya. Yang menarik disini adalah cara mereka
praktikum dengan keterbatasan sarana dan prasarana. Laboratorium kami merupakan
bangunan tua, kami bahkan tak memiliki buret untuk titrasi. Waktu itu kami
titrasi dengan menggunakan pipet tetes dan pegal-pegal karena meneteskan hampir 200tetesan. Tetap saja hal itu berkesan
untuk diingat, dalam kekurangan alat, beliau memilih metode paling sulit
dilakukan dan menjadikannya pengalaman yang berharga bagi kami. Bu Nunuy, guru
fisika, saat itu fisika memang yang paling sulit di ranah IPA, selain materinya
abstrak, rumusnya juga banyak. Bahkan aku merasa setiap soal mempunyai rumus
yang berbeda, hal itu karena aku tidak bisa menginterpretasikan apa yang
ditanyakan dalam soal. Tapi Bu Nunuy ini sering sekali membuat kita mengerjakan
banyak latihan soal, bahkan kami juga disuruh membongkar rumus untuk mengetahui
asalnya. Tapi aku suka itu, karena kami jadi terlatih. Walaupun mungkin saat
itu aku mengerti karena terbiasa mengerjakan soal. Metode yang tepat untuk
masalah yang muncul.
Guru IPS banyak yang teacher centered, dan parahnya ada yang
melakukan proses pembelajaran hanya dengan membacakan bukunya, beliau merupakan
guru sosiologi. Dan guru geografi berwatak lebih aneh, setiap ada siswa yang
remedial, bukannya mendapat pembelajaran tambahan malah dengan membelikannya
rokok pun masalah nilai sudah dianggap aman. Begitu juga dengan guru ekonomi,
sangat ekonomis sekali, remedial menjadi sarana baginya untuk membeli apa yang
ingin dimilikinya, siswa ditugaskan membeli barang yang beliau butuhkan dan
dikumpulkan padanya, nilai pun bisa beres. Sepertinya hal tersebut dianggap
wajar, dan mempermudah siswa. Ckck.
Sekian kilas balik perjalanan
saya menjadi murid, saya akan mengambil banyak pelajaran dari apa yang telah
saya lalui selama ini. Semoga kelak saya bisa menjadi guru yang lengkap
teladannya.
Comments
Post a Comment