Saya merasa orangtua saya sukses membina saya. Karena tanpa disadari saya ingin calon suami saya memiliki sikap yang seperti ayah saya, dan kelak saya juga ingin menjadi seorang ibu seperti ibu saya.
Sikap yang selalu saya kagumi dari ibu adalah kepandaiannya dalam bersikap. Mungkin waktu juga yang menempanya. Yang jelas saya ingin menjadi ibu seperti beliau. Ketika kecil, hati saya selalu deg-degan sewaktu disuruh berbicara sesuatu yang sulit untuk dibicarakan dengan orang lain, tapi ibu mengajari saya. Saya kadang bertanya “gimana ngomongnya?” kepada ibu saking saya bingung. Atau malah ibu saya membaca roman muka saya dan bilang “nanti bilang aja kaya gini…..”.
Ketika seorang ibu mempunyai tiga orang anak dan di meja ada tiga potong kue, seorang ibu akan berkata bahwa ia tidak suka kue. Ibu saya selalu begitu, beliau selalu mementingkan anaknya, sehingga kini saya merasa ibulah yang sebenarnya paling penting bagi saya. Ibu selalu memaafkan dan berada di samping saya bahkan ketika saya berbuat salah dan mengecewakannya. Tidak pernah saya melihat manusia setulus ibu. Saya pun sama seperti yang lain, di masa remaja merasa ibu sangat menyebalkan. Di masa itu Ibu selalu ingin tahu urusan personal, tukang atur, dan ngga pernah ngerti kemauan anaknya. Tapi bagian yang selalu saya lupakan dari hal itu adalah bahwa ibu sangat menyayangi saya melebihi apapun di dunia.
Saya ingat sayup merdu lantunan ayat suci Al-Qur’an yang kerap dibacakan ibu saya sehabis shalat, menentramkan hati, membuat saya terbuai dan kadang saya terlalu rileks hingga tanpa peringatan mata saya menutup perlahan. Terlalu nikmat.
Orang bilang di mata seorang ayah, sudah beranjak dewasa pun kita akan tetap menjadi gadis kecilnya. Ayah akan selalu melindungi gadis kecilnya. Sosok laki-laki pertama yang muncul di kehidupan semua anak perempuan.
Saya ingat beberapa waktu lalu saya mengeluh pada ibu kalau kuliah itu cape. Ibu hanya menyarankan saya untuk istirahat. Tapi beberapa hari kemudian ayah telpon, jarang sekali ayah mengontak saya. Beliau menanyakan kabar saya dan bilang “Namanya orang mau sukses emang harus cape dulu. Kalau cape jangan terlalu dirasa-rasa. Jangan terlalu banyak dikeluhkan. Semangat aja!”. Pasti ibu cerita ke ayah.
Saya hanya menjawab singkat “ya..”, tapi dibalik genggaman handphone, air mata saya mengalir. Saya merasa sedih sekaligus merasa sangat terberkahi memiliki seorang ayah yang selalu mensupport saya dari arah manapun.
Ayah mungkin bukan sosok yang dituliskan di cerita motivasi-motivasi yang ketika dibaca bisa membuat kita menangis. Ayah tidak pernah mengajak saya ke kebun binatang, ayah juga tidak membelikan boneka beruang besar, ayah mungkin tidak hapal tanggal lahir saya.
Tapi ayah saya memberikan apa yang saya butuhkan dan akan memastikan kalau saya baik-baik selalu. Ayah mengantar saya ke sekolah, ayah mengajak saya berbelanja keperluan kerjanya dihari minggu, dan ayah orang yang selalu membanggakan anak-anaknya didepan teman-temannya. Hingga kini saya pun bangga pada ayah.
Terimakasih untuk ayah dan ibu. Tanpa kalian aku bukanlah apa-apa.
Sikap yang selalu saya kagumi dari ibu adalah kepandaiannya dalam bersikap. Mungkin waktu juga yang menempanya. Yang jelas saya ingin menjadi ibu seperti beliau. Ketika kecil, hati saya selalu deg-degan sewaktu disuruh berbicara sesuatu yang sulit untuk dibicarakan dengan orang lain, tapi ibu mengajari saya. Saya kadang bertanya “gimana ngomongnya?” kepada ibu saking saya bingung. Atau malah ibu saya membaca roman muka saya dan bilang “nanti bilang aja kaya gini…..”.
Ketika seorang ibu mempunyai tiga orang anak dan di meja ada tiga potong kue, seorang ibu akan berkata bahwa ia tidak suka kue. Ibu saya selalu begitu, beliau selalu mementingkan anaknya, sehingga kini saya merasa ibulah yang sebenarnya paling penting bagi saya. Ibu selalu memaafkan dan berada di samping saya bahkan ketika saya berbuat salah dan mengecewakannya. Tidak pernah saya melihat manusia setulus ibu. Saya pun sama seperti yang lain, di masa remaja merasa ibu sangat menyebalkan. Di masa itu Ibu selalu ingin tahu urusan personal, tukang atur, dan ngga pernah ngerti kemauan anaknya. Tapi bagian yang selalu saya lupakan dari hal itu adalah bahwa ibu sangat menyayangi saya melebihi apapun di dunia.
Saya ingat sayup merdu lantunan ayat suci Al-Qur’an yang kerap dibacakan ibu saya sehabis shalat, menentramkan hati, membuat saya terbuai dan kadang saya terlalu rileks hingga tanpa peringatan mata saya menutup perlahan. Terlalu nikmat.
Orang bilang di mata seorang ayah, sudah beranjak dewasa pun kita akan tetap menjadi gadis kecilnya. Ayah akan selalu melindungi gadis kecilnya. Sosok laki-laki pertama yang muncul di kehidupan semua anak perempuan.
Saya ingat beberapa waktu lalu saya mengeluh pada ibu kalau kuliah itu cape. Ibu hanya menyarankan saya untuk istirahat. Tapi beberapa hari kemudian ayah telpon, jarang sekali ayah mengontak saya. Beliau menanyakan kabar saya dan bilang “Namanya orang mau sukses emang harus cape dulu. Kalau cape jangan terlalu dirasa-rasa. Jangan terlalu banyak dikeluhkan. Semangat aja!”. Pasti ibu cerita ke ayah.
Saya hanya menjawab singkat “ya..”, tapi dibalik genggaman handphone, air mata saya mengalir. Saya merasa sedih sekaligus merasa sangat terberkahi memiliki seorang ayah yang selalu mensupport saya dari arah manapun.
Ayah mungkin bukan sosok yang dituliskan di cerita motivasi-motivasi yang ketika dibaca bisa membuat kita menangis. Ayah tidak pernah mengajak saya ke kebun binatang, ayah juga tidak membelikan boneka beruang besar, ayah mungkin tidak hapal tanggal lahir saya.
Tapi ayah saya memberikan apa yang saya butuhkan dan akan memastikan kalau saya baik-baik selalu. Ayah mengantar saya ke sekolah, ayah mengajak saya berbelanja keperluan kerjanya dihari minggu, dan ayah orang yang selalu membanggakan anak-anaknya didepan teman-temannya. Hingga kini saya pun bangga pada ayah.
Terimakasih untuk ayah dan ibu. Tanpa kalian aku bukanlah apa-apa.
Comments
Post a Comment