Saya pernah memikirkan sebuah kehidupan ideal untuk saya. Saya ingin lahir di pedesaan,tidak terkotori polusi kota, tidak terbawa teknologi, saya udik, dan menjadi kampungan. Itu hal yang indah.
Saya akan tinggal sama Abah, Emak dan dua adik saya(untuk peran yang ini sosok keluarga yang sekarang selalu ideal bagi saya, hanya saja keadaannya perlu diubah). Abah punya peternakan, Emak punya perkebunan dan sawah yang luas. Rumah kita berlantaikan kayu, atap kita dari jerami, disana cuma ada televisi tua yang berfungsi sebagai pajangan dan di depannya ada dipan yang hangat dari kayu jati, tempat kami berkelakar. Rumah kita menghadap arah matahari, tiap pagi sinarnya menembus lewat celah jendela kayu yang desainnya klasik. Burung tekukur Abah nyanyi, dan burung gereja bercicitcuit di hamparan rumput hijau teras rumah. Pemandangan dari balkon tidak kalah mempesona, pemukiman penduduk yang padat dan pepohonan rimbun. Di teras ada sepasang kursi yang kesepian dan meja bundar bertaplak usang. Di halaman rumput tadi, ada lima kuda parkir dan mungkin lagi ngobrol sama burung yang bercicitcuit, entahlah. Lahan puluhan hektar ini akan sangat lelah kalau dijelajahi dengan berjalan, kami sekeluarga berkuda. Tiap pagi berkuda melalui rute berbeda karena hutan selalu punya banyak jalan. Ketika kami lapar kami mampir di kebun apel, jeruk dan kebun buah-buahan yang komplit koleksinya. Di lain waktu, Abah menyuguhkan kami dengan sarapan segelas susu murni langsung dari sapinya. Cukup mulut kami yang menganga di bawah kelenjar susu si sapi. Sapi disini dijamin sehat. Kami terus berkuda dan menemukan air terjun, biasanya kami mandi di bawah pancuran kayu yang airnya mengalir dari pegunungan. Kali ini kami akan mandi di bawah air terjun itu. Disaksikan alam. Udaranya segar, hidung kami terasa bersih dan ringan.
Saya akan tinggal sama Abah, Emak dan dua adik saya(untuk peran yang ini sosok keluarga yang sekarang selalu ideal bagi saya, hanya saja keadaannya perlu diubah). Abah punya peternakan, Emak punya perkebunan dan sawah yang luas. Rumah kita berlantaikan kayu, atap kita dari jerami, disana cuma ada televisi tua yang berfungsi sebagai pajangan dan di depannya ada dipan yang hangat dari kayu jati, tempat kami berkelakar. Rumah kita menghadap arah matahari, tiap pagi sinarnya menembus lewat celah jendela kayu yang desainnya klasik. Burung tekukur Abah nyanyi, dan burung gereja bercicitcuit di hamparan rumput hijau teras rumah. Pemandangan dari balkon tidak kalah mempesona, pemukiman penduduk yang padat dan pepohonan rimbun. Di teras ada sepasang kursi yang kesepian dan meja bundar bertaplak usang. Di halaman rumput tadi, ada lima kuda parkir dan mungkin lagi ngobrol sama burung yang bercicitcuit, entahlah. Lahan puluhan hektar ini akan sangat lelah kalau dijelajahi dengan berjalan, kami sekeluarga berkuda. Tiap pagi berkuda melalui rute berbeda karena hutan selalu punya banyak jalan. Ketika kami lapar kami mampir di kebun apel, jeruk dan kebun buah-buahan yang komplit koleksinya. Di lain waktu, Abah menyuguhkan kami dengan sarapan segelas susu murni langsung dari sapinya. Cukup mulut kami yang menganga di bawah kelenjar susu si sapi. Sapi disini dijamin sehat. Kami terus berkuda dan menemukan air terjun, biasanya kami mandi di bawah pancuran kayu yang airnya mengalir dari pegunungan. Kali ini kami akan mandi di bawah air terjun itu. Disaksikan alam. Udaranya segar, hidung kami terasa bersih dan ringan.
Siang mulai merangkak, kami bersiap mengelola lahan ini. Dibantu beberapa pekerja yang rumahnya di pemukiman padat tadi. Rumah kami bukan sebuah perusahaan, kami tidak menjual yang kami produksi. Kami produsen sekaligus konsumen. Pekerja disini dibayar dengan apa yang mereka kerjakan. Yang menanam, merawat, dan memanen buah-buahan akan membawa pulang apa yang di panennya. Yang membersihkan kandang, memberi makan dan memerah susu sapi akan membawa susunya. Kami hanya butuh orang untuk membantu menjaga lahan kami. Pekerja kami ini kaum jujur kalangan bawah, kadang ketika kami sedang panen ikan di empang, kami mengundang mereka untuk berpesta pora. Untuk bersama bakar-bakaran dan saling berbagi sepotong kehidupan.
Siang begini, Emak akan turun ke sawah dan memanen padi yang kuning. Hanya beberapa ikat, hanya untuk makan keluarga siang ini. Pada tiap petak sawah ini, semua padi ditanam dalam waktu yang berbeda. Sehingga kita tidak punya musim panen, setiap hari adalah panen. Setelah dipanen, benih padi yang lain langsung ditancapkan kembali kedalamnya. Seperti main bongkar pasang.
Aku akan mengecek irigasi, memastikan padi ini minum dengan baik. Adikku yang perempuan akan menebar pupuk, dia menyuapi padi itu. Dia tampak kepanasan. Emak sudah duluan duduk di saung. Saung ini sederhana saja. Tiang pemancangnya tampak kokoh. Ada paku yang tertancap, tempat menggantungkan topi petani kami. Atapnya dari jerami, sama dengan yang ada pada rumah kami. Ada tungku perapian, kecil saja, tersusun dari batu bata yang ditumpuk rapi dan beberapa kayu bakar. Emak biasa menanak nasi disini. Adikku yang laki-laki mampir ke empang untuk mengeksekusi hidup beberapa ikan. Kali ini Emak menyarankan ikan mujair saja. Rasanya gurih, cocok dimakan saat terik. Emak beranjak ke perkebunan sayur. Emak memetik daun daun kangkung muda dan tua yang segar. Aku dan adik perempuanku justru bermain di bawah rindangnya pohon mangga. Kami ingin memanjatnya tapi kami belum bisa turun. Abah akan kerepotan nanti. Seperti ketika itu kami nekat naik, alhasil Abah membawa kasur kami ke kebun itu dan kami melakukan pendaratan yang menakutkan. Jadi kami hanya memetik buah yang terjangkau tangan kami. Apel dan jeruk. Lumayan untuk cuci mulut. Tubuh kami berkeringat, tapi kami menjalaninya tanpa beban. Kami tersenyum dan berlarian menuju saung. Wajah kami bahkan lebih cerah dari langit biru.
Ikan pun dibakar, baunya sangat mengundang, ludah kami rasanya ingin menetes keluar. Keluargaku lengkap berkumpul di saung. Gelombang udara yang tak tertangkap telinga berbisik mesra mengatakan mereka iri pada senyum kami. Kami berbincang santai, rasanya lepas dan bebas. Emak meracik sambal. Kami antusias dan sibuk menata tempat makan kami. Kami selalu makan lesehan. Meski di rumah ada meja makan, kami lebih suka seperti ini. Tidak kaku, dan manis. Kami punya beberapa piring beling di rumah, hanya saja nasi ini kami tumpahkan pada sehelai daun pisang. Begitupun lauk pauknya, sayur mayurnya. Piring itu bisa mengurangi keakraban kami. Kami suka begini. Tumis kangkung, ikan mujair bakar, nasi hangat, sambal dadak, kami bisa menyebutnya kebahagiaan paling dasar. Masih bisa menikmati hidangan yang tumbuh dibesarkan alam, mensyukuri ini semua dengan hati lapang. Sungguh makan siang yang aduhai. Capung dan beberapa serangga pasti cemburu, dalam benaknya mungkin mereka menggumam ingin menjadi manusia yang hidupnya seperti kami.
Kami bercengkrama, bertukar tawa dan menyulam waktu dengan penuh ketulusan. Aku meletakkan kepalaku dipaha Emak. Kaki Emak selonjoran. Meluruskan persendian setelah tadi berjongkok dan membungkuk untuk menuai padi. Menapaki sore. Adik laki-lakiku menumpangkan kepalanya pada punggung Abah. Abah tidur-tiduran dengan posisi miring bersebelahan dengan kaki Emak. Adik perempuanku melendoti Emak, menyandarkan kepalanya di bahu Emak. Sesekali Emak mengelus rambutku kemudian rambut Abah. Emak sore ini tersenyum, lebih cantik dari senja yang kami saksikan bersama. Matanya seperti lautan yang penuh harapan, kami bersandar padanya dan rasanya aku ingin begini selamanya.
Kami bergegas menuju rumah. Mandi di bawah pancuran yang airnya terasa hangat karena ikut terjemur matahari. Kesegaran itu menyergap lagi, mengisi tiap lapisan kulit. Emak dan Abah duduk harmonis di teras depan. Aku berdiri di balkon itu,tercenung. Abah dan Emak tidak hanya hidup, tidak hanya menikmati hidup, mereka menghidupkan hidup mereka dengan cara mereka. Hidup di luar normal. Manusia lain di pemukiman padat itu kadang tidak tahu menikmati hidup, mereka hanya menjalaninya. Membiarkannya berlalu tanpa sadar apapun.
Lampu gas dipasang, langit lenyap secara misterius. Lantunan ayat suci dari suara Emak terdengar merdu, kami shalat berjamaah, mengaji bersama. Oh alangkah idealnya hidup kami. Berkecukupan namun berkelimpahan.
Siang begini, Emak akan turun ke sawah dan memanen padi yang kuning. Hanya beberapa ikat, hanya untuk makan keluarga siang ini. Pada tiap petak sawah ini, semua padi ditanam dalam waktu yang berbeda. Sehingga kita tidak punya musim panen, setiap hari adalah panen. Setelah dipanen, benih padi yang lain langsung ditancapkan kembali kedalamnya. Seperti main bongkar pasang.
Aku akan mengecek irigasi, memastikan padi ini minum dengan baik. Adikku yang perempuan akan menebar pupuk, dia menyuapi padi itu. Dia tampak kepanasan. Emak sudah duluan duduk di saung. Saung ini sederhana saja. Tiang pemancangnya tampak kokoh. Ada paku yang tertancap, tempat menggantungkan topi petani kami. Atapnya dari jerami, sama dengan yang ada pada rumah kami. Ada tungku perapian, kecil saja, tersusun dari batu bata yang ditumpuk rapi dan beberapa kayu bakar. Emak biasa menanak nasi disini. Adikku yang laki-laki mampir ke empang untuk mengeksekusi hidup beberapa ikan. Kali ini Emak menyarankan ikan mujair saja. Rasanya gurih, cocok dimakan saat terik. Emak beranjak ke perkebunan sayur. Emak memetik daun daun kangkung muda dan tua yang segar. Aku dan adik perempuanku justru bermain di bawah rindangnya pohon mangga. Kami ingin memanjatnya tapi kami belum bisa turun. Abah akan kerepotan nanti. Seperti ketika itu kami nekat naik, alhasil Abah membawa kasur kami ke kebun itu dan kami melakukan pendaratan yang menakutkan. Jadi kami hanya memetik buah yang terjangkau tangan kami. Apel dan jeruk. Lumayan untuk cuci mulut. Tubuh kami berkeringat, tapi kami menjalaninya tanpa beban. Kami tersenyum dan berlarian menuju saung. Wajah kami bahkan lebih cerah dari langit biru.
Ikan pun dibakar, baunya sangat mengundang, ludah kami rasanya ingin menetes keluar. Keluargaku lengkap berkumpul di saung. Gelombang udara yang tak tertangkap telinga berbisik mesra mengatakan mereka iri pada senyum kami. Kami berbincang santai, rasanya lepas dan bebas. Emak meracik sambal. Kami antusias dan sibuk menata tempat makan kami. Kami selalu makan lesehan. Meski di rumah ada meja makan, kami lebih suka seperti ini. Tidak kaku, dan manis. Kami punya beberapa piring beling di rumah, hanya saja nasi ini kami tumpahkan pada sehelai daun pisang. Begitupun lauk pauknya, sayur mayurnya. Piring itu bisa mengurangi keakraban kami. Kami suka begini. Tumis kangkung, ikan mujair bakar, nasi hangat, sambal dadak, kami bisa menyebutnya kebahagiaan paling dasar. Masih bisa menikmati hidangan yang tumbuh dibesarkan alam, mensyukuri ini semua dengan hati lapang. Sungguh makan siang yang aduhai. Capung dan beberapa serangga pasti cemburu, dalam benaknya mungkin mereka menggumam ingin menjadi manusia yang hidupnya seperti kami.
Kami bercengkrama, bertukar tawa dan menyulam waktu dengan penuh ketulusan. Aku meletakkan kepalaku dipaha Emak. Kaki Emak selonjoran. Meluruskan persendian setelah tadi berjongkok dan membungkuk untuk menuai padi. Menapaki sore. Adik laki-lakiku menumpangkan kepalanya pada punggung Abah. Abah tidur-tiduran dengan posisi miring bersebelahan dengan kaki Emak. Adik perempuanku melendoti Emak, menyandarkan kepalanya di bahu Emak. Sesekali Emak mengelus rambutku kemudian rambut Abah. Emak sore ini tersenyum, lebih cantik dari senja yang kami saksikan bersama. Matanya seperti lautan yang penuh harapan, kami bersandar padanya dan rasanya aku ingin begini selamanya.
Kami bergegas menuju rumah. Mandi di bawah pancuran yang airnya terasa hangat karena ikut terjemur matahari. Kesegaran itu menyergap lagi, mengisi tiap lapisan kulit. Emak dan Abah duduk harmonis di teras depan. Aku berdiri di balkon itu,tercenung. Abah dan Emak tidak hanya hidup, tidak hanya menikmati hidup, mereka menghidupkan hidup mereka dengan cara mereka. Hidup di luar normal. Manusia lain di pemukiman padat itu kadang tidak tahu menikmati hidup, mereka hanya menjalaninya. Membiarkannya berlalu tanpa sadar apapun.
Lampu gas dipasang, langit lenyap secara misterius. Lantunan ayat suci dari suara Emak terdengar merdu, kami shalat berjamaah, mengaji bersama. Oh alangkah idealnya hidup kami. Berkecukupan namun berkelimpahan.
Comments
Post a Comment