Kita saling melepaskan untuk melihat siapa di antara kita yang paling kuat mempertahankan ego.
Kita lantas saling menyakiti untuk mengetahui siapa juara dalam lomba mempertaruhkan gengsi.
Kita menangis di belakang, ditelanjangi kesendirian.
Seharusnya kita mencintai seperti sewajarnya.
Ketika kamu pergi, jarum jam patah dan terhenti disitu.
Ada spasi yang menjarakkan hatiku menuju jiwamu.
Seberapapun aku mencoba, aku tetap akan kembali menangis.
Namamu selalu terbisik di udara,
genggaman tanganmu masih tersisa di celah jariku,
bau tubuhmu tertinggal di kulitku,
hari berlalu dan aku tetap sama seperti hari lalu.
Aku berkata pada diriku, aku ingin berhenti mencintaimu,
dan hatiku bilang itu artinya aku harus mati.
Haruskah aku menyerah padamu?
Pulanglah ke pelukanku; yang kamu bilang seperti rumah,
karena kemanapun kamu pergi biasanya kamu akan kembali kesana.
Apa kamu lupa semua cahaya yang pernah kamu eja supaya kita bersinar bersama?
Kenapa kamu pergi dan lupa jalan kembali?
Kenapa kamu biarkan malam menusukku dengan sunyi?
Dan kenapa kali ini bukan kepadaku kamu pulang?
Apa kamu ingat kerlingan manja matamu yang kamu pahat di bola mataku?
Apa kamu lupa cerita yang pernah kamu tuliskan di lembaran hatiku?
Agar kita "selalu saling menyayangi" ucapmu, Ingat?
Kenapa kamu menghilang di saat langit sepi memayungi?
Kenapa diam saat hati ini merindukanmu begitu boros?
Dan kenapa kali ini aku bertahan sendirian?
Lantas ke rumah siapa aku harus pulang?
Teruntuk Hati yang kutetapi
Comments
Post a Comment