Kadang, di tengah malam yang tenang, setelah scrolling TikTok parenting dan baca berita Indonesia gelap, saya suka mikir sendiri: “Yakin nih saya mau punya anak?” Pertanyaan itu bukan muncul karena saya gak suka anak-anak. Saya suka sekali anak-anak —terutama yang lucu, pinter, dan bisa dikembalikan ke orang tuanya setelah main. Tapi makin ke sini, keinginan punya anak justru diselimuti awan tebal bernama… insecurity . Saya membayangkan, suatu hari nanti anak saya bikin thread viral di Sosmed X (atau apapun namanya nanti), judulnya: “Kenapa ortuku tega melahirkanku ke dunia penuh entropi dan anti-revolusi ini?” Langsung terkencar-kencar. Bisa-bisa dia jadi anak yang pegal hati karena dilahirkan, dia pasti sama seperti saya yang membenci struktur makroekonomi maupun jejak karbon dirinya. Dia pasti mempertanyakan keputusan saya, dan saya belum punya jawaban ilmiah apa pun. Kecuali satu: Karena bapaknya orang baik, dan orang baik itu gak boleh punah. Next masalahnya, saya dan suami...
What is something that you have now that seemed like a wish back then? The first thing that comes to my mind is the freedom to do anything. Hal yang tampak seperti mimpi dulunya adalah melakukan hal-hal yang hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa. Beberapa di antaranya merupakan adegan berbahaya yang hanya bisa dilakukan oleh ahli. Hal seperti bepergian sendiri kemanapun, membeli barang-barang lucu yang diinginkan, bahkan berpikir hanya untuk diri sendiri. Aku tidak tahu kenapa kota tempatku tinggal, Karawang disebut Kota Pangkal Perjuangan, tapi aku cukup tahu semua orang di sini memang bergelar pejuang. Menjadi dewasa artinya bergerak menjadi seorang yang berjuang. Dulu semuanya diperjuangkan oleh orang lain tanpa kita maknai. Sekarang aku tahu betapa lelahnya itu, tapi tidak ada seorang pun bertanya, karena semua orang ingin beristirahat juga. Aku suka menjadi dewasa karena hal-hal yang tidak terlihat ketika aku kecil, sekarang semuanya nyata. Sayangnya, kita semua mend...